Wednesday, May 7, 2014

The Journey of Sound


Judul film        : The Journey of Sound (2012)
Sutradara         : Muhammad Fajar Putranto

            Stasiun kereta api merupakan salah satu dari ruang publik tempat berlangsungnya aktifitas kehidupan. Aktifitas ini terbentuk dari ekologi ruang yang telah secara sadar maupun tidak, tercipta oleh berbagai macam unsur atau elemen didalam stasiun. Film ini mengangkat hal yang menarik dari elemen-elemen didalam stasiun kereta yakni bunyi dan tanda. Sebagaimana dengan judulnya The Journey of Sound yang berarti perjalanan sebuah bunyi, film ini oleh sutradaranya mencoba mengangkat keanekaragaman sebuah bunyi didalam sebuah permainan soundscape dan mengkolaborasikannya dengan bahasa gambar atau visual yang tercipta dari berbagai tanda didalam sebuah ruang stasiun menjadi sebuah permainan videoscape. Oleh karena itu sang sutradara mengatakan bahwa film ini adalah sebuah media refleksi soundscape menjadi videoscape, dimana komposisi bunyi yang tercipta dari sebuah ekologi divisualisasikan menjadi sebuah catatan tentang kultur masyarakat dalam budaya keseharian.

            Bunyi adalah sebuah elemen penting dan juga sering terabaikan oleh kita saat melakukan aktifitas didalam ataupun diluar ruang. Padahal elemen bunyi merupakan salah satu ciri khas yang membentuk bagaimana masyarakat tersebut terlihat dan dinilai oleh masyarakat diluar ekologi ruang tersebut, disini dapat terlihat juga bahwa sebuah komunitas masyarakat lahir dengan sistem yang tercipta oleh elemen bunyi dan juga tanda. Pada film ini stasiun kereta api yang merupakan subjek permasalahan yang diangkat, dimana didalam ruang publik sebagai salah satu sarana transportasi yang sangat dibutuhkan masyarakat, menciptakan ruang lingkup komunitas perkereta apian. Berbagai bunyi yang terdapat di stasiun seperti raungan klakson kereta api, dentang bel stasiun, alunan sirine palang pintu, lengkingan peluit petugas, detakan kode morse, derau mesin lokomotif, hembusan rem pelepas angin, bunyi ritmis roda kereta, dan sebagainya. Bunyi-bunyi tersebut menjadi sesuatu yang tidak terlepaskan bagi masyarakat didalam ruang stasiun, menjadi sarana komunikasi sejajar dengan visual yang nampak pada tanda, oleh karena itu dapat kita lihat betapa pentingnya elemen bunyi untuk mempresentasikan sebuah realitas.

Dari atas ke bawah : The Man with the Movie Camera (1929) oleh Dziga Vertov,
The Journey of Sound (2012) oleh M. Fajar Putranto

            Dziga Vertov terkenal dengan manifesto Kino Pravda yang berarti kamera adalah mata sebuah film (kino eye), dimana film dokumenter berarti memperlihatkan sebuah realitas dengan apa yang terlihat dan terekam oleh kamera film. Tetapi menurut saya setelah melihat film The Journey of Sound karya seorang mahasiswa tugas akhir jurusan etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta, terlihat dengan jelas sekali bahwa realitas tidak hanya dapat direkam oleh sebuah kamera film sebagai mata film, tetapi suara atau bunyi yang telah terkomposisi maupun masih bersifat abstrak dapat mempresentasikan apa yang dikatakan sebagai sebuah realitas, bunyi atau suara adalah telinga film (mungkin perlu dijelaskan bahwa disiplin etnomusikologi tidak terbatas dengan observasi dan pengumpulan data mengenai seni pertunjukan melalui audio visual ataupun tulisan sebagaimana yang terlihat di disiplin ilmu etnografi yang juga merupakan salah satu dasar etnomusikologi, tetapi etnomusikologi dapat mengeksplorasi bunyi musikal yang tercipta oleh sebuah fenomena khususnya fenomena bunyi yang sifatnya abstrak dan menyusunnya sedemikian rupa untuk kepentingan estetika).
            Bunyi-bunyi yang bersifat abstrak atau tidak teratur didalam film diatur sedemikian rupa menjadi sebuah permainan bunyi didalam videoscape. Bunyi-bunyi tersebut merefleksikan visual-visual yang nampak didalam film, dan visual pun mendukung dengan komposisi permainan bunyi yang terdengar. Kolaborasi dari dua elemen tersebutlah yang merupakan kunci dari apa yang ingin disampaikan didalam film ini. Walaupun secara penataan fotografi menurut saya visual yang ditampilkan masih kurang terlalu kuat mendukung ekstrimnya bunyi-bunyi yang berasal dari kereta api dan ekologi stasiunnya, malah mungkin apabila film ini ditonton tanpa audio atau suara, film ini tidak dapat dimasukkan kedalam kategori post-modern documentary yang mengutamakan visual untuk berbicara dan bertutur, tetapi film ini telah menunjukkan bahwa dengan kekuatan keduanya (visual dan audio) dapat mempertunjukkan sebuah realitas kebenaran sebagaimana definisi dari film dokumenter itu sendiri.
            Film ini adalah sebuah tugas akhir dari mata kuliah kerja feature yang membuat sebuah film dokumenter pendek, yang didasari dari segi antropologi atau manusia, etnografi, dan musik. Film The Journey of Sound ini (seperti sudah dikatakan sebelumnya) mengangkat unsur estetika bunyi dan tanda dari ekologi ruang stasiun kereta api, dimana bunyi-bunyi tersebut disusun dan dikomposisikan menjadi sesuatu yang indah untuk didengar. Sang sutradara (mengutip seorang tokoh yang bernama Murray Schaffer) mengatakan bahwa soundscape adalah cara belajar mendengarkan lingkungan, mengatakan sebuah kebenaran kalu suara yang tidak beraturan dan bising sekalipun ketika diolah sedemikian rupa akan menjadi sebuah musik yang dapat dinikmati. Hal tersebut akan melatih kepekaan indera telinga kita untuk menyadari keadaan lingkungan sekitar.

            Alur bertutur film ini dimulai dengan realitas kehidupan ekologi perkereta apian, mulai dari persiapan teknis kereta api, pemesanan tiket penumpang, pemberangkatan, perjalanan dan perhentian. Didalam film ini sang sutradara mencoba mengatakan bahwa perjalanan adalah hal yang tidak hanya menjadi “sebuah perjalanan semata”, akan tetapi menjadi sebuah perjalanan bermakna dan memiliki pesan atas pengalaman bunyi didalam ekologi kereta api. Bunyi-bunyi yang menggambarkan keadaan kultur sosial suatu masyarakat, bunyi-bunyi yang manggambarkan visual, dan bunyi-bunyi yang menggambarkan sebuah realitas ekosistem manusia dari kebudayaan yang kompleks.

            The Journey of Sound telah membawa para penontonnya kedalam sebuah perjalanan bunyi penuh eksperimen. Perjalanan keseharian sebuah ruang dan sistem yang didalamnya terdapat rangkaian budaya secara turun temurun diwariskan, tetapi hanya sedikit manusia yang bisa melihat makna dari semua fenomena tersebut melalu sudut pandang yang tidak kasat mata. Kekuatan yang diciptakan oleh perspektif bunyi. Bahasa bunyi yang kadang untuk sebagian orang sulit untuk dipahami melalui telinga mereka. Tetapi film ini telah mempermudah kita untuk memahami hal tersebut, bahwa bunyi dapat mengungkapkan sebuah realitas kebenaran sebagaimana kita berbicara tentang sesuatu hal kepada orang yang mendengarkan. Bunyi yang mempunyai ciri khas khusus melalui bahasa musikal terstruktur dan dapat dipahami dan dinikmati. Maka kekuatan bunyi dan gambar dalam film, khususnya sebuah film dokumenter, gambar dan suara tidak akan bisa dilepas satu sama lain. Karena dua hal tersebut saling mendukung dan berkerja sama untuk menceritakan sesuatu kepada penonton dan pendengar film. Bunyi dan gambar dalam film yang mampu merubah sesuatu hal, demi kebenaran dari realita.

No comments

Post a Comment

© アダン
Maira Gall