Monday, May 12, 2014

Film Pendek



Sejarah
            Era film bisu pada awalnya berkembang dengan durasi pendek (2-3 menit), dimana film menggambarkan tentang kehidupan keseharian dan masih menggunakan kekuatan visual untuk bertutur. Namun seiring berjalannya waktu, karena sifat alamiah manusia yang selalu menuntut lebih dari yang sudah ada, muncul lah film-film berdurasi panjang. Para penulis cerita film pada waktu itu mengambil referensi dari novel dan cerita teater. Salah satunya pada film George Melies “A Trip to the Moon”, film tersebut adalah rekaman gambar atas kejadian dan peristiwa yang terjadi di atas panggung teater.
            Pada era keemasan Hollywood, dampak dari film-film seperti The Birht of Nation oleh D.W. Griffth telah memberikan dampak yang sangat besar bagi sejarah perfilman dunia. Oleh karena itu Hollywood yang sekarang kita kenal sebagai industri film terbesar dan tersukses di dunia, telah membuat berbagai macam sistem dalam mengelola produksi, distribusi dan eksebisi film-film mereka. Tahun 1917-1948 lahirlah sistem studio Hollywood. Sistem studio telah membuat sebuah sistem untuk meningkatkan produktivitas film-film mereka, kita kenal sebagai One Years Plan. Disamping memproduksi film-film panjang atau feature, sistem studio Hollywood juga melihat peluang besar yang dihasilkan dari film pendek. Menurut mereka membuat film pendek sangatlah murah, karena tidak memerlukan lokasi yang begitu besar dan mahal, tidak memerlukan peralatan yang banyak, dan hanya memerlukan kru yang sedikit.
            Namun pada tahun 1927 dan setelahnya, bersamaan dengan munculnya teknologi film bersuara dan juga sudah berwarna. Sistem studio berhenti memproduksi film pendek, dan lebih berkonsentrasi pada film-film panjang. Memasuki tahun 1950 dimana televisi muncul, akibatnya produksi film-film pendek dan pemutarannya di bioskop telah menurun atau bahkan menghilang. Beberapa film pendek telah masuk kedalam industri pertelevisian yang diatur dengan sistem rating dan share sesuai selera masyarakat pada masa itu. Film pendek pada saat itu untuk beberapa saat telah menghilang.
            Tahun 1960 berbagai sekolah film khususnya di Amerika Serikat telah mengeluarkan filmmaker-filmmaker handal sampai bertahun-tahun setelahnya, seperti Martin Scorsese, George Lucas, dan Fransisco Coppola. Mereka telah membuat film pendek untuk menunjukkan bakat mereka, maka dari saat itu sekolah film di seluruh dunia meningkat, dimana hal tersebut memunculkan peluang untuk meningkatkan popularitas dari film pendek. Tahun 1980-1990 teknologi perekaman pun makin maju, kamera dan bahan baku perekamannya (sebelummnya menggunakan celluloid) digantikan dengan pita rekam didalam kaset. Harga dari kamera dan bahan baku perekaman tersebut pun sudah sangatlah murah. Setiap rumah sudah memiliki kamera video dan mereka dengan sangat mudah mengedit hasil rekamannya menggunakan computer atau laptop didalam rumah mereka. Oleh karena itu film pendek pun mulai bangkit kembali.
Kemudian muncul internet yang memungkinkan siapapun dapat mengunduh hasil rekaman atau filmmnya dan mempertontokannya ke publik secara bebas. Sejak saat itu sampai sekarang film pendek dalam bentuk yang bermacam-macam telah dapat dengan mudah diproduksi, dipertontokan dan diikut sertakan ke berbagai festival film terkenal di seluruh penjuru dunia.
Struktur
Ketika membuat film pendek, filmmaker harus menyampaikan ceritanya melalui gambar di layar, maka kekuatan karakter dalam film harus dibangun melalui penulisan cerita. Cerita tersebut harus kuat dalam segi deksiptif dan visual, oleh karena itu seorang penulis cerita film harus dapat membayangkan secara visual mengenai jalan cerita yang akan ditulis. Hal penting yang harus dihindari oleh seorang penulis film adalah didalam tulisan ceritanya tidak diperbolehkan deskripsi pergerakan kamera, editing, dan hal-hal teknis lainnya. Penulis cerita film khususnya film pendek, harus mampu memvisualisasikan hal-hal teknis tersebut melalui cerita yang dia buat.
Film pendek sebagaimana mediumnya menuntut sebuah penuturan yang kreatif. Hal tersebut bisa didapatkan dari berbagai referensi bentuk-bentuk hasil karya seni atau lainnya, melalui membaca, mendengar, atau menonton. Di Indonesia sendiri dan negara-negara lainnya yang miskin apresiasi, sejak kecil telah disuguhkan beberapa bentuk karya seni bertutur.
Saat masih kecil khususnya pada anak-anak yang tinggal ditempat yang masih kental akan budaya, masih sering mereka mendengar hal-hal seperti dongeng, legenda, mitos, dan berbagai foklor lainnya yang memiliki makna dan pesan yang berguna untuk kehidupan. Namun bagi anak-anak yang tinggal ditempat seperti perkotaan, dimana teknologi dan fasilitas sudah lebih berkembang, mereka menonton film kartun atau bahkan sinetron.
Bentuk lainnya seperti novel, cerpen dan komik, yang pada saat ini cukup berkembang didalam kelompok remaja. Fenomena tersebut merupakan perkembangan nilai estetika didalam diri seseorang yang mempengaruhi bagaimana dan seperti apa mereka akan membuat sebuah karya film. Hal-hal itu juga yang menjadi referensi (sengaja ataupun tidak) pada saat membuat cerita film pendek, khususnya di Indonesia.
Cerita dalam film pendek haruslah kreatif dan inovatif. Memang tidak ada sepenuhnya ciptaan bentuk baru didunia ini, tapi kita harus berusaha membuat seseuatu yang baru melalui rangkaian bagian-bagian yang disusun sedemikian rupa. Oleh karena itu dalam mengatur bagian-bagian tersebut diperlukan struktur untuk membuat suatu bentuk yang utuh yakni film pendek. Diperlukan struktur untuk memudahkan penulis bagaimana menyusun cerita yang menarik dan tidak berujung dengan sesuatu yang dapat ditebak (klise), ada beberapa macam aturan struktur penulisan untuk film pendek.
            Pertama, struktur 3 babak yang terdapat di sistem Sinema Hollywood Klasik. Dimana cerita dibangun melalui tahapan pengenalan, pengembangan, permasalahan, klimaks dan penyelesaian. Struktur ini dalam film pendek biasanya dapat berdurasi 10 menit lebih, namun struktur ini juga yang telah banyak lolos dan menang diberbagai penghargaan festival di penjuru dunia karena banyak disukai oleh kebanyakan orang pula. Sulitnya struktur ini adalah pengembangan atas jalannya cerita harus perlahan dan tentunya kreatif, agar penonton terus tertarik dengan sebuah konflik yang berjalan dengan panjang.
            Kedua, ­set up – pay off atau diistilahkan dengan Jokes Structure. Struktur ini adalah perpendekan dari struktur 3 babak, dimana struktur ini tidak melalui tahap pengenalan atau pengembangan tetapi langsung berhadapan dengan permasalahan yang terjadi dengan tokoh dalam cerita. Setelah bertemu dengan permasalahan, si tokoh harus dengan cepat menemukan penyelesaiannya. Panjang-pendeknya si tokoh menemukan jalan keluar ditentukan dengan kualitas klimaks yang penulis buat, layak atau tidak penonton menunggu pay off yang akan terjadi.
            Terakhir, struktur yang tidak patuh dengan kedua struktur sebelumnya dan/atau bahkan tidak ada unsur cerita atau naratif didalamnya, eksperimental. Kebanyakan film yang menggunakan struktur ini sangat sulit untuk membuat penonton paham dengan maksud si pembuat filmnya, hanya sebagian komunitas tertentu yang aktif mendalami dunia seni atau paham dengan filosofi gambar tertentu bisa mengerti. Sulitnya membuat film eksperimental adalah dibutuhkan riset dan pengembangan yang mendalam, dan film-film tersebut juga tidak dapat dipandang sebelah mata karena kesulitannya atau bahkan karena “ketidak jelasannya”, karena banyak pionir film didunia yang telah membuat berbagai teknik atau spesial efek baru secara eksperimental dan telah digunakan diberbagai bentuk film saat ini.

No comments

Post a Comment

© アダン
Maira Gall