Tuesday, April 29, 2014

INDUSTRI FILM GLOBAL (JEPANG)

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Film berkembang menjadi sebuah industri berawal dari negara Amerika, dimana seorang ilmuwan bernama Thomas A. Edison menemukan alat yang bisa merekam gambar bergerak (kinetograph), merekam suara (kinetophone) dan alat untuk memproyeksikan gambar bergerak (kinetoscope). Disaat yang bersamaan dua orang ilmuwan bersaudara Louis dan Auguste Lumiere asal Perancis mengembangkan apa yang sudah ditemukan Edison, yaitu alat untuk merekam gambar bergerak dan sekaligus bisa memproyeksikan hasil perekaman gambar tersebut yang dikenal sebagai cinematographe lumiere (1895). Lumiere bersaudara mulai mempertontokan hasil filmnya kepada masyarakat umum di Grand Café, Paris dengan membeli tiket terlebih dahulu, dimana hal tersebut adalah cikal bakal sebuah industri film.
Industri film di Perancis mulai berkembang dengan munculnya Pathe oleh Charles Pathe. Pathe merupakan industri film terbesar di Eropa atau khususnya Perancis pada zamannya, puncaknya terlihat ketika Charles membuat konsep kerja tahapan dalam produksi film yang dikenal sebagai Vertically Intergrated Company (V.I.C) yakni produksi, distribusi dan eksebisi. Charles Pathe bersama industri film Pathe-nya menjadi pionir dalam hal manajemen terstruktur dalam berkerja, dimana dia juga merekrut Ferdinand Zecca sebagai sutradara dan kru-kru lainnya.
Pada tahun 1900-1907 beberapa imigran Yahudi keturunan Eropa ke Amerika Serikat (dimana ketika itu sedang maraknya slogan ”American Dream” memunculkan gelombang imigran dari berbagai negara seperti Perancis, Irlandia, Skandinavia dan salah satunya Yahudi) yang sebagian kecil merupakan pedagang. Mereka melihat peluang besar dari keuntungan yang bisa di dapat dari bisnis film ini. Edison melihat hal yang dilakukan para imigran Yahudi, menurut Edison film belum waktunya untuk dipublikasi atau bahkan diperdagangkan maka dia mematenkan penemuan teknologi pembuatan filmnya (dalam sejarah film peristiwa ini terkenal dengan Patent War antara Edison dengan Yahudi dan Trust War antara Motion Picture Patents Company dengan The Independents). Hal tersebut tidak membuat para imigran Yahudi untuk mundur, untuk menghindari Edison mereka pindah ke sebuah dusun di pantai barat Amerika yang nama tempat tersebut menjadi cikal bakal industri film di Amerika yang kita kenal saat ini sebagai Hollywood.
Dari Hollywood pun terbentuk sistem yang mengatur segala tahapan dari pembuatan sebuah film. Seorang sutradara sekaligus produser di Hollywood yang bernama Thomas Ince mencetuskan ide tentang pembagian posisi pekerjaan dalam produksi film (job desk) dan shooting and continuity script, dimana hal ini berfungsi untuk efisiensi dan ekonomis dalam produksi film. Berangkat dari konsep ide Ince, Hollywood mengembangkan sistem produksi dalam film jauh lebih kompleks, dimana seperti sistem sutradara, star system dan sistem studio pun lahir untuk menjamin unsur-unsur yang membentuk sebuah film laku ditonton oleh masyarakat, mulai dari sistem yang digunakan lalu produksi, distribusi dan eksibisi. Berkembang pesatnya sistem ini di Hollywood berpengaruh dalam industri film global, negara-negara yang sudah berkembang dengan industri film inipun mengadaptasi sistem yang telah dijamin oleh Hollywood akan membuat film laku ditonton seperti Inggris, India dan Jepang.
B.     Rumusan Masalah
Jepang adalah salah satu negara tertua dan terproduktif dalam hal industri film. Mark Cousins di dalam bukunya The Story of Film mengatakan ”It was producing more than 400 films per year and had an industrial film system in the late 1920s and 1930s similar to US” (2004: 125). Tahun 1950-1960an yang merupakan Golden Era dari industri film di Jepang menghasilkan film-film masterpiece seperti Rashomon (1951) sutradara Akira Kurosawa memenangkan Golden Lion di Venice International Film Festival, film Rashomon pun memberikan pengaruh dan dampak yang besar bagi perkembangan sejarah pembuatan film. Banyak lagi film-film Jepang pada rentang tahun tersebut memenangkan penghargaan dan mendapatkan apresiasi bagi penonton dan pengamat film dunia.
Pada tahun 1970an industri film Jepang mulai menurun diakibatkan perkembangan dampak dan pengaruh munculnya televisi. Banyaknya penonton film yang datang ke bioskop juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari puncak golden era industri film Jepang pada tahun 1960an dapat mencapai 1 triliun penonton, di tahun 1970 hanya mencapai 254 milyar penonton. Fasilitas untuk menonton film di Jepang seperti bioskop ataupun mini-theater juga mulai berkurang. Namun mulai tahun 1990an sampai sekarang, industri film Jepang mulai bangkit kembali. Multiplex Cinemas dibangun pada tahun 1993, industri pertelevisian di Jepang mulai berkerja sama dengan industri film pada tahun 1998, dan berbagai perusahaan teknologi di Jepang juga masuk ke dalam industri film.
C.    Tujuan
Makalah yang berjudul ”Industri Film Global (Jepang)” ditujukan untuk menjelaskan perkembangan film atau sinema di negara Jepang sebagai industri, mulai dari aspek sejarah pasca perang dunia ke II, konflik yang ditimbulkan antara film-film yang diimpor dari luar Jepang dengan film negara sendiri, era keemasan sinema Jepang, media pemutaran film dan perusahaan-perusahaan yang berkembang dalam bidang distributor film di Jepang.
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Industri Film di Jepang
            Produksi film di Jepang selama Perang Dunia ke II (selanjutnya akan disingkat PD II) tidak terlalu banyak saat setelah perang usai. Periode film bisu di Jepang antara tahun 1896-1939 tidak menghasilkan film-film yang berdampak besar pada perkembangan perfilman dunia. Mungkin salah satu perkembangan penting di era film bisu Jepang adalah adanya benshi, yaitu seseorang dibelakang layar yang ketika film diputar menarasikan isi jalan cerita film yang sedang ditonton untuk membantu penonton memahami isi film. Sisanya produksi film saat PD II di Jepang hanya memberikan 4% dari total film-film yang berkembang sampai saat ini, sementara sisanya diproduksi setelah PD II (Harding, http://ryan-harding. com/essays/earlyjapanesecinema diunduh tanggal 28 April 2014 jam 9.23).
            Jepang terkalahkan di PD II pada tanggal 15 Agustus 1945. Kondisi Jepang pasca perang sangatlah sulit, seluruh penduduk mengalami kemiskinan karena rusaknya berbagai fasilitas yang menopang pergerakan ekonomi di Jepang dan rasa kehilangan atas keluarganya yang meninggal saat perang. Untuk itu perhatian dialihkan melalui berbagai macam bentuk hicuran di Jepang dan salah satunya adalah film. Masyarakat Jepang pasca PD II diajak untuk datang ke bioskop, untuk menonton film-film yang diimpor dari luar Jepang. Rata-rata film yang diputar di bioskop adalah film yang didistribusi di Perancis dan Amerika. Industri film di Jepang kembali bangkit, walaupun hanya sebatas distribusi dan eksebisi di bawah kontrol Motion Pictures and Theatrical Unit of the Civil Information and Education Section di dalam sebuah badan yang bernama General Headquarters / GHQ (Yoshio, 2009: 7).
            GHQ mengontrol penyediaan dan pemutaran film-film di Jepang. Film-film yang diputar di bioskop Jepang saat itu hanya memutarkan film-film yang berasal dari luar Jepang atau dalam kata lain industri film di Jepang hanya sebatas (seperti yang sudah dikatakan sebelumnya) distribusi dan eksebisi, dimana film diimpor dari luar yakni dari Amerika. Sementara film-film dari dalam negeri Jepang tidak diizinkan untuk diputar di dalam bioskop.
Even after the end of the war, Central Motion Picture Exchange (CMPE) of the GHQ monopolized the provision and screening of imported films. All new imporeted films shown in Japan for a year and a half after the war, until the end of 1946 were Americans films. Private companies were not permitted to import films (Yoshio, 2009: 8).
            Sekitar tahun 1950an atas pengaruh dari seorang tokoh bernama Kawakita Nagamasa yang mendirikan Towa Shoji Movie Departement, mengatakan bahwa industri film Jepang harus mengambil alih tahapan produksi dan mengurangi impor film luar. Bersamaan dengan itu Nippon Cinema Corporation (NCC) telah memproduksi dan mendistribusikan banyak film dengan dibawah naungan British Film Institute (BFI). Oleh karena itu muncul sebuah sistem di Jepang yang dikenal sebagai ”quota system” dimana sistem ini mengatur jumlah film yang diputar antara film luar dengan film Jepang sendiri.
…”quota system”, according to which the number of films imported to Japan needed to be equal to the number of Japanese films screened in the cinemas. This system was applied to share of Americans, British and French films present in Japan’s film market at the time. The quota allowed to each importing company, was based on the average of the number of films it screened the previous year and its distribution revenue (Yoshio, 2009: 9).
            Pada tahun 1950 industri film di Jepang mencapai puncaknya, beberapa sutradara film yang berpengaruh dalam sejarah pun muncul seperti Yasujiro Ozu, Akira Kurosawa, Kenji Mizoguchi, Teinosuke Kinugasa, Keisuke Kinoshita dan lain sebagainya. ”The Japanese film industry reached its peak in the 1950s. Five companies – Shochiku, Toho, Daiei, Toei, and Nikkatsu – screened two films per week for 50 weeks a year” (Yoshio, 2009: 9).
            Pada pertengahan 1950an jumlah penonton dan fasilitas untuk memutarkan film di Jepang mencapai puncaknya, dalam rentang tahun 1957-1960 jumlah penonton film di Jepang mencapai 1 triliun padahal jumlah penduduk Jepang saat itu hanya sekitar 100 milyar, artinya ada beberapa orang yang datang ke bioskop lebih dari sepuluh kali. Selain itu fasilitas untuk memutar film juga meningkat sampai dengan 7000 bioskop, bahkan di kota kecil atau desa di Jepang pun terdapat dua sampai tiga bioskop (Yoshio, 2009: 10).
            Namun pada tahun setelah 1960an, industri film di Jepang mulai menurun. Karena munculnya televisi dengan berbagai model acara yang dapat ditonton. Film yang mengharuskan penonton datang ke bioskop dan harus membayar tiket sebelum menonton mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jepang, beralih ke televisi yang jauh lebih praktis dan ekonomis.
Jumlah penonton film yang bisa mencapai 1 triliun pada tahun 1960, menurun drastis menjadi 254 milyar dan paling parah pada tahun 1996 yaitu hanya 119 milyar penonton. Jumlah fasilitas bioskop juga menurun dengan sangat drastis, pada tahun 1960 terdapat 7,231 bioskop, tahun 1970 menurun menjadi 3,246 bioskop dan paling parah pada tahun 1993 hanya terdapat 1,734 bioskop (Yoshio, 2009: 10). 
B.     Media Pemutaran Film
1.      Art Theater Guild (ATG) – Independent Art House Cinema
ATG didirikan pada Nopember 1961 yang dikhususkan untuk Japanese artistic films. Dicetuskan oleh Kawakita Kashiko dari Towa Eiga dan didukung oleh Mori Iwao dari Toho. ATG didirikan untuk film-film serius di Jepang dan luar Jepang yang sudah pasti mendapatkan keuntungan yang sedikit, karena tidak semua masyarakat menyukai jenis film ini. Namun pada pertengahan tahun 1980an, bentuk artistic films mulai suskses secara komersial, tetapi masih memiliki harga yang rendah.
2.      Mini-Theaters - Independent Art House Cinema
Proses perkembangan industri film di Jepang termasuk box-office dipantau oleh sebuah badan yang bernama Kinema Junpo Top Ten. Berdasarkan hasil data Kinema Junpo Top Ten dan perjalanan panjang film artistic di Jepang membuktikan bahwa film artistic memiliki potensi yang sangat besar di mini-theater.
3.      Video Rental Stores dan V-Cinema
Pertengahan tahun 1980an video rental mulai tersebar secara luas, jumlah total baik toko komersial secara swasta ataupun toko milik pribadi sekitar 10,000 toko diseluruh penjuru Jepang. Lahirnya video rental memberikan peluang untuk kegagalan yang dihasilkan artistic film, menggantikan mini-theater film-film art mulai tersedia di toko-toko rental.
Berdirinya video rental yang menyediakan film-film yang dapat ditonton secara individual atau sendiri, melahirkan sebuah genre baru di perkembangan industri perfilman Jepang yakni V-Cinema.
V-cinema works are those that are not screened at cinemas, but instead are directly released on video at video rental stores. Just like the mini-theaters leading to the establishment of small-scale film importing companies, this boom of the V-cinema led to the development of video companies and small-scale film production companies specializing in V-cinema works (Yoshio, 2009: 13).
      Perlahan video rental dan V-cinema mulai menurun, tren berubah ke film-film Jepang yang didistribusikan oleh perusahaan Jepang dan diputar di mini-theater.
4.      Multiplex Cinema
Industri film di Jepang melalui perusahaan-perusahaannya mulai masuk ke pasar Multiplex, dimana multiplex adalah milik orang asing. Para pembuat film di Jepang sendiri meragukan pasar industri film yang ada di Jepang, oleh karena itu mereka melakukan pendekatan yang signifikan dengan pasar industri film diluar Jepang seperti multiplex.
C.    Kebangkitan Industri Film di Jepang Periode 1990 – Sekarang
Setelah pasar multiplex menunjukkan perkembangan yang membaik untuk industri film di Jepang. Periode panjang penderitaan dari industri film di negara ini sejak akhir tahun 1960 mulai bangkit kembali. Masyarakat mulai kembali menonton film di bioskop, pandangan masyarakat Jepang dahulu kala yang memandang bahwa bioskop adalah tempat yang kotor dan memiliki kursi yang tidak nyaman untuk diduduki selama hampir dua jam lebih, tergantikan dengan lahirnya multiplex. Multiplex berhasil mengembalikan era keemasan (golden age) dari industri film di Jepang.
Industri pertelevisian di Jepang pun mulai berkerja sama dengan industri film, dengan munculnya acara-acara televisi dengan genre drama teatrikal. Berawal dari munculnya serial drama teatrikal yang berjudul Steel Edge of Revenge oleh Goyokin didistribusikan oleh Fuji Television Network pada tahun 1969. Sejak itu banyak TV yang membuat acara serupa. Sampai saat ini peran dari TV telah menjadi faktor penentu dari sebuah kesuksesan atau kegagalan sebuah film (Yoshio, 2009: 15).

Kesimpulan
Dengan mengetahui perkembangan industri film di negara lain, kita dapat belajar bahwa sesuatu itu tidak didapatkan melalui proses yang mudah. Jepang butuh puluhan tahun untuk bangkit setelah runtuhnya era keemasan perfilman mereka dari tahun 1970an sampai akhirnya kembali mulai merangkak bangkit pada tahun 1990an. Atau pada masa pasca PD II yang dimana produksi, distribusi dan eksebisi film-film mereka sendiri tidak diizinkan di negara mereka. Bagaimana mereka bangkit secara bertahap untuk membangun sebuah industri film yang besar dan kuat layaknya Hollywood.

Referensi
Cousins, Mark. 2004. The Story of Film. England and Spain: Pavillion Books
Harding, Ryan. 2014. ”The Development of Early Japanese Cinema: from Chushingura to a Page of Madness,” http://ryan-harding.com/essays/earlyjapanesecinema
Yoshio, Kakeo. 2009. The Guide to Japanese Film Industry & Co-Production. Japan: UNIJAPAN International Promotion Departement

1 comment

  1. Filem Kurosawa sangat menarik... Saya ingin berbagi wawancara dengan Akira Kurosawa (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/wawancara-dengan-akira.html

    ReplyDelete

© アダン
Maira Gall