Saturday, March 24, 2012

MAHA – SVARA

Oleh: Slamet Abdul Sjukur – Komponis
Kita punya telinga. Kita mendengar. Tapi seberapa jauh kita menguasai pendengaran? Di tengah semakin ramainya budaya kasat mata, kita menjadi asing terhadap telinga kita sendiri.
Ini pengalaman mengajar di Padepokan Lemah Putih di Solo. Kebanyakan siswanya orang asing dan beberapa pribumi. Ada yang dari Belanda, Denmark, Inggris, Jerman dan Mexico. Latar belakang mereka berbeda-beda. Seorang di antaranya adalah mahasiswa yang mengkhususkan diri mempelajari seni gerak dan filsafat Butoh Jepang. Seorang lain adalah koreografer yang sekaligus Direktur School for New Dance Development di Amsterdam. Lainnya pegawai kesejahteraan sosial, pemain teater, pelukis, guru, dokter, ahli shiatsu (pijat Zen), ahli osteopath (pembenahan kedudukan tulang dan syaraf), bahkan ada penari yang juga penjual gado-gado di Surabaya.
Orang-orang asing itu datang khusus ke Indonesia karena tertarik kepada ilmu yang dimiliki Suprapto Suryodarmo, karena itu mereka sebenarnya mempunyai bekal spiritual sungguh-sungguh.
Suprapto meminta saya mengajak mereka mengalami sendiri sesuatu yang awalnya saya anggap sangat pribadi serta tidak jelas apa yang mendorong saya melakukannya. “Sesuatu” itu sudah saya alami dulu, dan baru sekitar 20 tahun kemudian manfaat maupun maknanya menjadi terang. Itupun secara perlahan-lahan dan serba kebetulan.

Mendengar Aktif:
Intinya ialah bagaimana bisa mendengar secara aktif. Bukan saja pendengaran yang dibuat aktif atau lebih aktif dari biasanya, melainkan pula bersikap menghadapi yang didengar itu sebagai sesuatu yang aktif. Ada hubungan hidup antara yang mendengar dan yang didengar. Dan sasaran akhirnya ialah mendengar yang tidak terdengar.
Saya hanya berbagi pengalaman yang sifatnya tehnik, sebab saya tidak suka filsafat. Atas pernyataan saya itu, salah seorang di antaranya mmberikan tanggapan, keduanya bisa terlalu berlebihan, filsafat yang hanya main silat dengan pikiran atau tehnik yang hanya melulu tehnik. Dia mengambil jalan tengah untuk mendapatkan yang terbaik dari keduanya.
Bagaimana contoh nyata inti yang dikemukakan di atas?
Kami bersama-sama melakukan beberapa permainan. Saya pilih kata “permainan” untuk menghindari kata “latihan” yang menimbulkan kesan berat dan berbau doktrinal.
Pertama, kami membuka telinga dengan diniati. Dengan memejamkan mata dan bernafas tenang, teratur dan sepanjang mungkin melalui hidung, kami memusatkan perhatian pada bunyi-bunyi yang lembut sekali di sekitar kami. Ini tidak mudah karena bunyi-bunyi yang lebih kuat dengan sendirinya menyerap perhatian lebih besar dan menghalangi bunyi-bunyi yang halus tertangkap telinga. Tapi dengan ketekunan, telinga akan menemukan sendiri cara paling tepat mengatasi kesulitan itu.
Selama pemusatan perhatian, yang diarahkan pada bunyi-bunyi yang lembut, banyak suara lain yang terekam dalam ingatan tanpa disadari. Misalnya, ketika mereka saya minta menyebutkan jumlah bunyi seekor cecak yang tadi mendadak terdengar, semua menjawab tidak tahu karena tidak memperhatikan. Tapi setelah saya desak mengingatnya kembali, ternyata banyak yang masih ingat betul jumlah bunyinya, pengelompokan ritmenya dan perubahan temponya! Tubuh manusia bisa menangkap berbagai hal jauh lebih cepat dari yang diduga.
Kedua, pusat perhatian tidak lagi pada bunyi-bunyi lembut, melainkan pada bunyi panjang kendaraan lewat. Peserta harus bisa mengikuti bunyi satu kendaraan saja di antara kendaraan lainnya yang lewat. Ada saatnya bunyi mendekat dan kemudian menghilang lagi. Tapi kapan bunyi itu mulai terdengar dan kapan pula bunyi itu lenyap dari pendengaran, sangat tergantung dari kepedulian terhadapnya. Dengan sedikit upaya, seseorang bisa menangkap bunyi jauh lebih dini dari biasanya. Dan seperti detektif telinga bisa membuntuti bunyi sampai jauh sekali.
Bagaimana dengan keheningan, cara menemukannya serta masuk ke dalamnya?
Secara alami, hampa bunyi itu tidak ada. Manusia berada di tengah lautan bunyi. Bunyi ada di mana-mana, terdengar maupun tidak. Tapi keheningan yang relatif, bisa dialami, artinya di tengah keramaian pun seseorang bisa “mengemudikan” telinganya ke sisi lain yang tidak tergoda bunyi. Sepertinya menelusuri kesinambungan dua sisi yang bertolak belakang sebuah cincin Moebius (ahli topologi dan astronomi Jerman abad ke XIX).
Aku Pusat:
Permainan lainnya, membayangkan bunyi, yaitu bunyi yang paling berbicara bagi seseorang. Bunyi ini tidak lain dari bunyi nama sendiri. Sebab jika di tempat asing, tiba-tiba ada orang yang memanggil nama seseorang, seseorang itu merasa terbangun, sebab tiba-tiba terasa ada ikatan batin, sedang orang-orang lain tidak peduli karena tidak merasa terlibat.
Dengan membayangkan nama kita dipanggil dengan penuh kasih oleh orang yang sangat dicintai, akan dirasakan kebahagiaan yang sangat dalam. Ini salah satu cara membangkitkan sendiri kedamaian batin yang selanjutnya punya pengaruh sehat ke seluruh jaringan sel-sel tubuh. Getaran terjadi karena bunyi yang dibayangkan sendiri itu bermuatan psikologis yang paling berbicara bagi yang bersangkutan.
Dari berburu bunyi yang ada di luar tubuh, kemudian menggetarkan tubuh dengan bunyi yang dibayangkan sendiri, selanjutnya akan melahirkan “sari” bunyi. Seperti pada permainan sebelumnya, merasakan bunyi lebih baik jika memejamkan mata.
Dengan tenang napas panjang ditarik melalui hidung, kemudian dengan tenang pula dan perlahan-lahan napas dihembuskan melalui jalan sama, sambil membunyikan huruf “M”. Untuk membunyikan dengan panjang, perlu menghemat tenaga, dengan nada yang tidak terlalu rendah dan suarapun tidak terlalu keras. Sedangkan untuk menjaga agar kualitas bunyi tetap sama dari awal sampai akhir, keterlibatan pendengaran terus diperlukan. Peserta tidak saja aktif membuat bunyi, tapi juga mengontrolnya dengan pendengaran yang aktif. Pendengaran aktif ini sekaligus merupakan kesadaran yang menjaga agar peserta tidak tersihir bunyi yang mudah sekali membuat tertidur.
Pengertian Bukan Jaminan:
Lebih jauh orang akan bisa mendengarkan bunyi-bunyi tubuhnya sendiri tanpa bantuan stetoskop: napas, degup jantung, perut, semi hidrolis tulang punggung dan sebagainya, bahkan udara yang penuh dengan muatan berbagai getaran.
Apa yang membuat orang Barat itu mempelajari hal-hal demikian? Karena daya pikir saja sudah tidak mencukupi? Ada kecenderungan menerima apa saja yang datang dari Timur? Atau malah mau mengimpornya untuk dijual kembali dengan kemasan lebih meyakinkan?
Apapun menjadi pendorongnya, ada dua hal sangat menonjol: mereka besungguh-sungguh sekali, dan mereka tetap makhluk rasional yang keras yang mempersoalkan apa saja dengan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Mereka butuh diasuh menurut tata pikir mereka, termasuk kebutuhan diyakinkan (kalau memang perlu) bahwa pikiran mereka keliru, asalkan dengan logika yang mereka kenal!
Tapi, Blaise Pascal (orang Barat) juga yang bilang, intuisi itu punya logika yang logika sendiri tidak tahu.
Di dalam permainan mengalami kesadaran terhadap bunyi, mereka melakukannya dengan segala kerendahan hati untuk masuk ke wilayah itu secara total.
Yang mengherankan justeru orang-orang kita sendiri. Mereka bukan kurang sungguh-sungguh, tapi sangat canggung dalam bermain dengan kepedulian. Akibatnya mereka menanggapi kepedulian secara main-main saja. Ada yang tidak tahu apa yang mesti dirasakan, ada jarak antara dirinya dengan sasarannya. Ada juga yang merasa tahu dan langsung mengembangkannya, tanpa menyadari permainannya berada di luar aturan main. Misalnya, ketika diminta menghembuskan napas melalui hidung sambil membunyikan “M” sepanjang mungkin, dia bukannya memusatkan perhatiannya pada kualitas getaran dari awal sampai akhir serta pada penghematan energi, dia malah “menyanyi” naik-turun dengan bunyi “M”. Hal-hal seperti ini sering terjadi pada mereka. Tanpa sengaja mau sok-tahu, tentu saja.
Telinga, seperti juga halnya dengan bagian-bgian tubuh lainnya, merupakan karunia Tuhan yang tidak ternilai harganya. Ia merupakan sarana penghubung sangat andal antara kita dan yang di luar kita, bahkan antara kita dan “yang ada di dalam”.
Dewa Ruci bukan hanya sebuah dongeng atau simbol. Dia sesuatu yang nyata yang bisa kita alami sendiri.
(Kompas, Minggu, 8 Januari 1995)

No comments

Post a Comment

© アダン
Maira Gall