Wednesday, January 2, 2013

Sekilas Tentang Masyarakat Using


Oleh: Ayu Sutart(Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur)

Pendahuluan

Secara  administratif  orang  Using  (Osing)  bertempat  tinggal  di  Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa   abad  yang  lalu,  wilayah  yang  sekarang  dikenal  sebagai  Kabupaten Banyuwang ini   merupaka wilaya utam Kerajaa Blambangan.   Wilayah pemukiman  orang  Using  makin  lama  makin  mengecil,  dan  jumlah  desa  yang bersikukuh  mempertahankan  adat-istiadat  Using  juga  makin  berkurang.  Dari  21 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, tercatat tinggal 9  kecamatan saja yang diduga masih menjadi kantong kebudayaan Using.  Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi,  Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).
Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan stereotipe.  Begitu  pul halnya  dengan  identitas  buday Using.  Orang  Using diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama  yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3). Di samping citra negatif  tersebut, orang Using juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas  dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2)  memiliki tradisi kesenian yang handal; 3) sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).
Orang  Using  dikenal  sangat  kaya  akan  produk-produk  kesenian.  Dalam masyarakat Using, kesenian tradisional masih tetap terjaga kelestariannya, meskipun ada  beberapa  yang  hampir  punah.  Kesenian  pada  masyarakat  Using  merupakan produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian di bidang  pertanian.  Laku  hidup  masyarakat  Using  yang  masih  menjaga  adat serta pemahaman  mereka  terhadap  pentingnya  kesenian  sebagai  ungkapan  syukur  dan kegembiraan  masyarakat  petani  telah  menjadikan  kesenian  Using  tetap  terjaga hingga sekarang. Tulisan ini akan memaparkan produk-produk kesenian Using yang hingga sekarang masih memiliki pendukung yang kuat.

Produk-produk Kesenian Masyarakat Using

A. Seni Tari


1. Gandrung
Gandrung adalah seni tari khas masyarakat Using yang sekarang menjadi maskot Kabupaten Banyuwangi. Seorang penari gandrung identik dengan perempuan yang bergulu menjangan berkaki kijang, yang berarti lincah bagai rusa dan memiliki suara yang merdu. Struktur pementasan gandrung meliputi jejer, paju, dan seblang- seblang. Musik iringan  gending jejer yang semula rancak berganti menjadi lembut dan penari melantunkan gending Padha Nonton sebagai lagu wajib pembuka.
Gandrung  merupakan  salah  satu  jenis  kesenian  tradisional  Using  yang keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung ialah  terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam dan bersuara rancak bersahut-sahutan. Dalam pertunjukan gandrung seorang penari gandrung seringkali  melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada pula yang bernuansa asmara.

2. Seblang

Seni  tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan  upacara magis  untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Jenis seni tari yang hanya terdapat  di Desa  Olehsari  daBakungan,  Kecamatan  Galagah,  Kabupaten Banyuwangi  ini   diperkirakan  sebagai  peninggalan  kebudayaan  pra-Hindu  yang sampai sekarang masih hidup dan tetap dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan  oleh seseorang dalam keadaan kejiman atau tidak sadarkan diri (intrance) karena kerasukan atau keserupan roh halus, roh leluhur, atau Hyang. Tarian ini merupakan sarana pemujaan  terhadap roh halus, baik roh yang bersifat  baik  maupun  yang  tidak  baik.  Jadi,  gerakan-gerakayang ada  pada  tari seblang  merupakan  gerakan  tarian  roh  yang  merasuk  ke  wadah  penari.  Ciri-ciri gerakannya yiatu dilakukan dengan ritme yang monoton.
Pementasan  seni  tari  ini  hanya  dilaksanakan  sekali  dalam  setahun,  yaitu setiap  tanggal 1 Suro bertepatan dengan dilaksanakannya upacara bersih desa atau selamatan  desa Bila  pementasan  tari  seblang  tidak  diadakan  diramalkan  akan menimbulkan malapetaka  bagi masyarakat desa Olehsari. Atas petunjuk roh halus, pada saat ini pementasan tari  seblang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Syawal, yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Pementasan tari Seblang dimulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 16.00 selama satu minggu.

3. Barong

Kesenian barong merupakan teater rakyat yang memadukan unsur tari, musik, dan lagu  serta cerita yang telah baku dan turun-temurun. Pada awalnya, seni ini merupakan seni  pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya  pada  saat-saa tertentu,  misalnya  pada  saat  upacara  bersih  desa  yang diselenggarakan pada minggu  pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya.
Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus  mengandung ciri khas  Using,  baik  yang  menyangkut  musik,  tari,  dialog,  maupun  ceritanya.  Di Kabupaten  Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih  berjumlah empat kelompok,  yaitu kelompok Seni  Barong Kemiren, Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni barong  Kemiren  saja yang masih utuh keUsingannya dan sering melakukan pementasan.
Seni  Barong di  desa  Kemiren  diciptakan  oleh Eyang  Buyut  Tompo  pada sekitar  1830-an.  Pada  saat  itu  di  desa  Kemiren  ada  pertunjukan  Seblang  yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang  Buyut   Tompo   agar  pementasan   seblang  dipindah   ke   desa  Ole-Olean (Olehsari), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan  yang  harus  dipegang  teguh  oleh  masyarakat,  yakni  masyarakat  desa Kemiren  tidak  diperkenankan  mementaskan  seblang,  dan  sebaliknya  masyarakat Olehsari  tidak  boleh  mementaskan  barong.  Seni  Barong  yang  diciptakan  Buyut Tompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan  dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya  setiap  pementasan,  yakni  tatkala  barong  mengalami  kesurupan  yang masuk adalah Buyut Cili.

4. Hadrah Kuntulan

Kesenian  hadrah  kuntulan  lahir  tidak terlepas dari  sejarah  perkembangan Islam  di   Banyuwangi.  Sebelumnya,  hadrah  kuntulan  ini  bernama  seni  hadrah barjanji.  Menurut  beberapa  seniman  kuntulan  berasal  dari  kuntul,  nama  sejenis unggas berbulu  putih,  yang  selanjutnya  warna  putih  ini  dijadikan  sebagai  warna busana yang dipakai para pemainnya. Sementara itu, beberapa seniman yang lainnya seperti Hasan  Singodimayan,  Andang  CJ,  dan Sudibjo  Aries  berpendapat  bahwa nama  kuntulan  secara  etimologis  berasal  dari  kata   arab  kuntubil  yang  artinya terselenggara pada malam hari. Kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri setelah belajar  mengaji,  yaitu  untuk  melepaskan  rasa  jenuh  pada  mala hari  mereka mengadakan  kegiatan  dengan  melontarkan  pujian-pujian  yang  berbentuk   syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton.
Pementasan seni hadrah kuntulan berupa tarian rodat (penari laki-laki) yang diiring denga rebana   ditingkahi   voka barjanje ata asrokal Pada   awal kelahirannya di   saa pementasa semua   penariny adala laki-laki   karena masyarakat menganggap tabu dan melanggar ajaran agama Islam jika tarian tersebut diperagakan oleh perempuan. Gerakan yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu gerakan yang menggambarkan orang shalat, wudu dan adzan. Dalam perkembangan selanjutnya, seni hadrah kuntulan mengalami berbagai pernyempurnaan, baik dalam instrumen musik, tarian, busana, maupun penampilan wanita dalam pementasan.

5. Padhang Ulan

Masyarakat  Banyuwangi  mempunyai  sifat  ceria,  baik  dalam  permainan maupun dalam kesenian. Ketika bulan purnama (padhang ulan) antara tanggal 13–17 bulan Jawa,  kaum  muda mengadakan permainan di perkampungan-perkampungan maupun di pantai, baik secara berkelompok maupun berpasangan. Pada saat seperti ini dimanfaatkan  untuk  bersenang-senang saja  atau untuk  mencari jodoh.  Situasi seperti inilah yang akhirnya memberikan inspirasi kepada para seniman Banyuwangi untuk menciptakan lagu-lagu, gending, dan tari padhang ulan (terang bulan). Sesuai dengan situasi yang melatarbelakanginya, maka tari padhang ulang mempunyai ciri khas lincah, gembira, dan agak erotis.

6. Sabuk Mangir

Tari sabuk mangir memiliki latar belakang yang bersifat magis. Istilah sabuk mangir  merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu sabuk berarti ikat pinggang dan mangir nama sebuah desa di Rogojampi. Sabuk mangir terkenal sebagai sabuk sakti orang  Mangir.  Berdasarkan  kepercayaan  bahwa  ada  kekuatan  gaib  yang  berada dalam sabuk tersebut, orang Mangir berusaha melawan musuh-musuhnya, baik yang musuh yang fisik maupun non-fisik.

7. Puputan Bayu

Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita bernama Sayuwiwit           yang            berperang            melawan Belanda   (VOC).     Sayuwiwit mengorganisir  para  pemudi  di  zamannya  dalam  sebuah  pasukan  wanita  yang disegani   kawan  maupun  lawan.  Pasukan  wanita  yang  dipimpin  oleh  srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan. Perang puputan adalah perang habis-habisan yang menimbulkan banyak korban, baik di pihak lawan maupun di pihak  Sayuwiwit. Perang puputan di desa Bayu inilah yang menjadi inspirasi terciptanya tari puputan bayu.

8. Pupus Widuri

Pupus  widuri  terdiri dari  dua  kata  yang  berasal  dari  bahasa  Using,  yaitu pupus yang berarti daun muda dan widuri adalah nama sejenis makhluk cantik atau bidadari.  Jadi,  makna  kata  pupus  widuri  adalah  gadis  muda  yang  sangat  cantik seperti bidadari. Oleh karena itu, tarian ini dilakukan oleh seorang gadis yang baru menanjak remaja. Tari pupus  widuri merupakan gabungan dari beberapa gerak tari tradisional Banyuwangi, seperti tari seblang, tari gandrung, tari gridhoan, dan tari ngarak   penganten.  Gerakan  tari-tarian  tersebut  digabung  dan  dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu gerak yang harmonis dan bisa membuat penonton terpesona, baik oleh gerakan maupun kecantikan penarinya.

9. Keter Wadon

Keter wadon adalah sebuah tari yang diilhami oleh kegiatan burung-burung pipit  yang lincah, bebas berkeliaran di udara, mencari makan di mana-mana tanpa ada yang menghalangi, kecuali si anak nakal. Mereka beterbangan di udara, hinggap di  atas  pohon bermain  di  telaga  bening,  berjemur  di  panas  matahari  sambil bercengkerama. Namun, malang karena seekor dari mereka jatuh dipanah, disumpit atau ditembak oleh seseorang  yang jahil sehingga ia ditinggal pergi oleh teman- temannya yang lari ketakutan dan mencari dunia yang lebih bebas dan aman.

10. Walang Kadung

Tari walang kadung adalah salah satu seni tradisional daerah Banyuwangi yang  penciptaannya berdasarkan pengalaman atau pengamatan terhadap kehidupan walang kadung  di pohon-pohon  atau dedaunan. Walang  kadung merupakan jenis serangga yang biasa  hidup di daun-daun muda pohon jambu kluthuk (jambu batu). Jika   diperhatikan geraka binatang   ini  sanga menarik,   terutama   pada   kaki depannya,  kaki  belakanyang  panjang tidak pernah  diam, kepalanya yang tidak pernah tunduk, serta matanya yang selalu terbelalak.

11. Jaranan Buto

Kesenian  jaranan  buto  berasal  dari  desa  Cemetuk  Kecamatan  Cluring, Kabupaten  Banyuwangi.  Istilah  jaranan  buto  mengadopsi  nama  tokoh  legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa). Instrumen musik jaranan buta terdiri atas seperangkat gamelan yang terdiri  dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas yang   terbua dar lempenga tembaga) da  kendang.   Sebaga isntrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda raksasa yang terbuat dari  anyaman  bambu.  Wajah  raksasa  didominasi  warna  merah  menyala,  dengan kedua matanya yang besar sedang melotot. Dalam pementasannya masih dilengkapi dengan tiga jenis topeng buto (raksasa), celengan (babi hutan) dan kucingan (kucing) yang kesemuanya terbuat dari kulit. Topeng-topeng ini ini harus digunakan secara bergantian oleh para pemainnya, baik pemain laki-laki maupun pemain perempuan.

12. Campursari

Kesenian campursari disebut juga mocoan pacul gowang (seni baca naskah), yang merupakan lahirnya seni pertunjukan yang kemudian dinamai seni campurcari. Pementasan diawali dengan mocoan pacul gowang berupa pembacaan naskah lontar berbahasa  Jawa  Kuna  dan  Jawa  Pertengahan  yang  berisi  riwayat  Nabi  Yusuf. Pembacaan naksah lontar  ini dilakukan secara ritmis, dan tunduk terhadap aturan panjang  pendek  vokal  (guru  lagu),  pupuh  atau  bait  nama  tembang  (syair)  yang dilagukan.  Pada  umumnya  pupuh  yang  digunakan  adalah  pupuh  macapat  yang berasal  dari  tradisi  Jawa,  seperti  Dandanggula,   Kinanti,  Pucung,  Sinom,  dan Asmaradana.  Seusai  pembacaan  naskah  lontar,  acara  dilanjutkan  dengan  atraksi penampilan  jenis  kesenian  lain  seperti,  kuntulan,  janger gandrung,  rengganis, jinggoan,  tarian  daerah,  kendang  kempul,  lawak,  dan  dangdutan Satu  genre kesenian yang tidak masuk dalam paket campur sari adalah barongan.

B. Seni Musik

1. Kendang Kempul

Kesenian  kendang  kempul  yang  pada  awalnya  disebut  kendang  gong merupakan seni musik yang tumbuh bekembang dari tradisi seni gandrung dengan sentuhan-sentuhan modifikasi perpaduan dengan irama musik dangdut. Dalam hal penggunaan alat musik, selain menggunakan istrumen musik tradisional yang terdiri dari gamelan kempul (biasanya 2 buah), kendang banyuwangen (2 buah, besar dan kecil) da gong   (sekarang   tida dipakai) seni   kendang   kempul   ini   juga menggunaka instrumen  musik  modern.yang  terdiri  dari  organ  (keyboard  atau syntheziser), gitar (lead maupun melodi), bass elektrik, dan seruling.
Lagu-lagu  kendang  kempul  yang  sudah  terkenal  antara  lain,  Gelang  Alit (ciptaa Andang  Cs),  Kantru-kantru  (tercengang-cengang,  digubah  dari  lagu gandrung sekitar  tahun 1976), Kembang Pethetan (lagu kendang kempul pertama). Selain lagu-lagu tersebut masih banyak lagi lagu-lagu lainnya, seperti yang dicipta oleh Sanusi, di antaranya yaitu Ibadah Haji, Lare Yatim, Payung, Godhong, Kwade, Gelang Alit, Tanah Kelahiran, Kembang Galengan, dan lain sebagainya.

2. Angklung Caruk

Seni angklung caruk berasal dari jenis kesenian legong Bali. Pengertian caruk di sini  mengacu pada arti lomba, tanding, atau duel meet, yang dalam pementasan dipertandingkan    sekurang-kurangny dua   group   seni   angklung   caruk   untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian yang terbaik. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang  dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik.
Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya  dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis-jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran,  tari  gandrungan,  cakilan,  tari  kuntulan,  dan  tari  daerah  blambangan. Instrumen  musik   angklung  caruk  terdiri  dari  seperangkat  angklung  (dua  unit angklung), kendang (dua buah), slenthem (dua buah), saron (dua buah), peking (dua buah), kethuk (dua buah), dan gong (dua buah).

3. Angklung Daerah

Seni angklung tumbuh dari tradisi masyarakat agraris, yakni menggunakan bunyi kotekan dari bambu yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengusir burung di sawah ketika  musim padi. Setelah melalui beberapa tahap penyempurnaan dan penambahan  instrumen,  akhirnya  jenis  seni  musik  ini  disebut  sebagai  angklung daerah serta bisa dipakai untuk mengiringi lagu dan tari. Jenis angklung daerah:
1.  angklung paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak (gubuk kecil)

di tengah sawah.

2.  angklung caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung  untuk  menunjukkan  kemampuan  dan  keterampilan  masing- masing.
3.  angklung                         tetak,   pengembangan          dari           angklung       paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.
4.  angklung dwi laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak.

Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
5.  angklung   Blambangan,  pengembangan   terakhir  angklung  di   daerah

Banyuwangi.

Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan  Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya). Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung (2  set/unit) saron (4 rancak @ 10 buah anak saron), peking (2 rancak), slenthem (2 rancak),  kethuk (2 biji), gong (2 rancak), gendang (2 rancak), biola, seruling,  dan  terompet.  Dalam  seni  angklung  daerah  diperlukan  10  orang  untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 – 25 orang pemain.

C. Seni Teater Tradisional

1. Jinggoan

Istila lain   dar seni   jinggoan   adala seni   jange da Damarwulan. Masyarakat Using lebih suka menggunakan istilah jinggoan yang diambil dari nama tokoh   Prabu  Minakjinggo  sebagai  pahlawan  mereka,  sedangkan  nama  janger dikaitkan dengan dominasi pengaruh unsur Bali pada gamelan, tari, dan tatabusana sebagai akibat terjadinya kontak budaya. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa  Krama.  Ini  menandakan  kepandaian  orang Using dalamelakukan adaptasi terhadap pengaruh budaya dari luar. Unsur-unsur Banyuwangi yang masuk ke dalam kesenian ini antara lain seni angklung dan lagu-lagu Banyuwangen.
Dilihat  dari  bentuk  ceritanya,  kesenian  janger  merupakan  pengambilan bentuk kesenian langendriyan (ande-ande lumut) yang berasal dari Keraton Mataram Islam di Jogjakarta. Kesenian langendriyan ini pada akhirnya di daerah Banyuwangi berkembang  menjadi  bentuk  dramatari  yang  dikenal  dengan  nama  Damarwulan. Cerita yang yang  sering  dipentaskan adalah cerita Bali yaitu Calon Arang, Agung Jelantik, Sastra Dewa. Sedangkan cerita asli Banyuwangi adalah Sayu Wiwit, Wong
Agung Wilis (Minakjinggonya), dan Prabu Tawang Alun. Saat ini, ceritanya tidak lagi  terikat oleh cerita kepahlawanan Damarwulan ataupun Minakjinggo (misalnya lakon  Minakjinggo  Diwisudo),  tetapi  dapat  pula  bercerita  tentang  kepahlawanan tokoh-tokoh kerajaan Jawa masa lampau, seperti Geger Tuban, Pangeran Wilis, dan Geger  Majapahit,  Babad  Singosari,  Babad        Pajang,  Babad  Mataram,  dan  cerita wayang (seperti lakon Kresno Duta, Kongso Adu Jago, dan lain-lain).
Kesenian janger atau jinggoan ini merupakan kesenian yang lengkap, yaitu terdiri dari seni tari, seni drama, seni suara, seni lawak, dan seni lukis atau dekorasi. Dalam pertunjukkannya, kesenian ini sangat komunikatif. Hal ini bisa dilihat ketika penonton  mengajukan  permintaan  kepada  para  pemain,  terutama  pelawak  untuk membawakan lagu-lagu populer, tembang Jawa atau Banyuwangen, gending, pantun, atau tarian.

2. Praburoro

Praburoro berasal dari dua kata, yakni prabu yang berarti raja dan roro atau rara yang berarti perempuan. Jadi, praburoro berarti raja perempuan atau ratu (Jw. ratu wedok). Kesenian praburoro merupakan satu jenis seni dramatari dengan lakon yang dipentasakan  bersumber pada Serat Menak yang bertolak dari hikayat Negeri Persia.  Tokoh-tokoh  dari  seni  dramatari  ini  antara  lain  Rengganis,  Umar  Moyo, Lamtanus, dan Suwongso.
Pusa cerit terletak  pada   tokoh  Dew Rengganis  (seorang  ratu,   istri Suwongso,  putra  Jayengrono  dari  kerajaan  Guparman)  sehingga  seni  drama  ini disebut   praburor yang   berart ratu   perempuan Diceritaka bahw Dewi Rengganis  adala seorang  perempuan  yang  tidak  dapat  digauli  oleh  laki-laki, termasuk  suaminya Rahasia   ini   diketahui   oleh   Umar  Moyo  sehingg Dewi Rengganis  merasa  sangat  malu.  Oleh  karena  itu,  ia  kemudian  melarikan  diri  ke wilayah Nusantara. Di tanah Jawa ia mendirikan kerajaan dan sekaligus menjadi ratu.
Secara umum praburoro mengisahkan proses masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Sebelum Islam masuk, di tanah Jawa sudah memiliki budaya Hindu. Salah satu seni  budaya  Hindu  itu  adalah  wayang  yang  alur  cerianya  bersumber  pada  epos Ramayana dan Mahabarata, demikian pula tokoh-tokohnya.
Dalam seni drama  praburoro terdapat kurang  lebih 21 cerita, yaitu Imam Sejati, Umar Seketi, Menak Sopo Nyono, Mali Bari, Bedhahing Bangit, Praburoro, Putri  Cino,  Rengganis,  Dandang  Wincono,  Umar  Moyo  Kembar,  Umar  Mantu, Subroto Kromo, Maktel Kembar, Subroto Rante, Cinde Kembang, Prabu Bantarangi, Joko Lelono, Suwongo Gugat, Angin Suseno, Samirono Sekso, dan Kusumo Maling.

Penutup
Masyarakat  Using  bukan  hanya  ulet  dan  mahir  dalam  bercocok  tanam melainkan  juga  piawai  dalam  berkesenian.  Eksistensinya  bukan  hanya  membuat Kabupaten Banyuwangi menjadi gudang pangan, melainkan juga gudang produk- produk kesenian tradisional yang menjadi kebanggaan Provinsi Jawa Timur. Produk- produk kebudayaan Using memiliki peranan strategis, baik yang bermuatan kultural maupun  ekonomi.  Jika  dikelola,  dibina,  dan  dimanfaatkan  dengan  baik,  produk- produk   kebudayaa Using  dapat   member kontribusi   yang  berarti   bagi   baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.
Orang  Using  dikenal  sebagai  sosok  yang  adaptif,  egaliter,  terbuka,  dan mencintai kesenian. Produk-produk kesenian Using bukan hanya menghibur tetapi juga banyak mengandung nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang  merugikan. Banyak sekali pesan-pesan mulia  yang terkandung dalam syair- syair baik yang dilantunkan dalam kendang kempul maupun hadrah kuntulan Using dan  dalam  seni  tari  tradisional  Using,  seperti  Gandrung  dan  Seblang.  Jelasnya, produk budaya Using memiliki dua warna, yaitu produk budaya yang bercitra agraris dan produk yang bercitra patriotik.
Orang Using,  meskipun menjadi  pemeluk  agama  Islam,  telah memelihara tradisinya  dengan  baik  dan  tidak  mempertentangkan  nilai  agama  dengan  tradisi. Dalam  masyarakat  Using,  agama  dan  tradisi  saling  mengisi:  agama  seringkali sebagakekuatan  yang  lebih  dominan  mewarnai  tradisi.  Akibatnya,  tidak  sedikit unsur-unsur agama maupun  kepentingan agama mewarnai produk kesenian Using. Produk-produk  kesenian  Using  yang  bercitra  agraris  dapat  dimanfaatkan  sebagai perekat dalam kehidupan bertetangga dan  bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat dimanfaatkan untuk membangun nasionalisme.


No comments

Post a Comment

© アダン
Maira Gall