Judul film : The Journey of Sound
(2012)
Sutradara : Muhammad Fajar Putranto
Stasiun kereta api merupakan salah
satu dari ruang publik tempat berlangsungnya aktifitas kehidupan. Aktifitas ini
terbentuk dari ekologi ruang yang telah secara sadar maupun tidak, tercipta
oleh berbagai macam unsur atau elemen didalam stasiun. Film ini mengangkat hal
yang menarik dari elemen-elemen didalam stasiun kereta yakni bunyi dan tanda. Sebagaimana
dengan judulnya The Journey of Sound
yang berarti perjalanan sebuah bunyi, film ini oleh sutradaranya mencoba
mengangkat keanekaragaman sebuah bunyi didalam sebuah permainan soundscape dan mengkolaborasikannya
dengan bahasa gambar atau visual yang tercipta dari berbagai tanda didalam
sebuah ruang stasiun menjadi sebuah permainan videoscape. Oleh karena itu sang sutradara mengatakan bahwa film
ini adalah sebuah media refleksi soundscape
menjadi videoscape, dimana komposisi
bunyi yang tercipta dari sebuah ekologi divisualisasikan menjadi sebuah catatan
tentang kultur masyarakat dalam budaya keseharian.
Bunyi adalah sebuah elemen penting
dan juga sering terabaikan oleh kita saat melakukan aktifitas didalam ataupun
diluar ruang. Padahal elemen bunyi merupakan salah satu ciri khas yang
membentuk bagaimana masyarakat tersebut terlihat dan dinilai oleh masyarakat
diluar ekologi ruang tersebut, disini dapat terlihat juga bahwa sebuah
komunitas masyarakat lahir dengan sistem yang tercipta oleh elemen bunyi dan
juga tanda. Pada film ini stasiun kereta api yang merupakan subjek permasalahan
yang diangkat, dimana didalam ruang publik sebagai salah satu sarana
transportasi yang sangat dibutuhkan masyarakat, menciptakan ruang lingkup
komunitas perkereta apian. Berbagai bunyi yang terdapat di stasiun seperti raungan
klakson kereta api, dentang bel stasiun, alunan sirine palang pintu, lengkingan
peluit petugas, detakan kode morse, derau mesin lokomotif, hembusan rem pelepas
angin, bunyi ritmis roda kereta, dan sebagainya. Bunyi-bunyi tersebut menjadi
sesuatu yang tidak terlepaskan bagi masyarakat didalam ruang stasiun, menjadi
sarana komunikasi sejajar dengan visual yang nampak pada tanda, oleh karena itu
dapat kita lihat betapa pentingnya elemen bunyi untuk mempresentasikan sebuah
realitas.
Dari atas ke bawah : The Man with the Movie Camera (1929) oleh Dziga Vertov,
The Journey of Sound (2012) oleh M. Fajar Putranto
The Journey of Sound (2012) oleh M. Fajar Putranto
Bunyi-bunyi yang bersifat abstrak
atau tidak teratur didalam film diatur sedemikian rupa menjadi sebuah permainan
bunyi didalam videoscape. Bunyi-bunyi
tersebut merefleksikan visual-visual yang nampak didalam film, dan visual pun
mendukung dengan komposisi permainan bunyi yang terdengar. Kolaborasi dari dua
elemen tersebutlah yang merupakan kunci dari apa yang ingin disampaikan didalam
film ini. Walaupun secara penataan fotografi menurut saya visual yang
ditampilkan masih kurang terlalu kuat mendukung ekstrimnya bunyi-bunyi yang
berasal dari kereta api dan ekologi stasiunnya, malah mungkin apabila film ini
ditonton tanpa audio atau suara, film ini tidak dapat dimasukkan kedalam
kategori post-modern documentary yang
mengutamakan visual untuk berbicara dan bertutur, tetapi film ini telah
menunjukkan bahwa dengan kekuatan keduanya (visual dan audio) dapat
mempertunjukkan sebuah realitas kebenaran sebagaimana definisi dari film
dokumenter itu sendiri.
Film ini adalah sebuah tugas akhir
dari mata kuliah kerja feature yang membuat sebuah film dokumenter pendek, yang
didasari dari segi antropologi atau manusia, etnografi, dan musik. Film The Journey of Sound ini (seperti sudah
dikatakan sebelumnya) mengangkat unsur estetika bunyi dan tanda dari ekologi
ruang stasiun kereta api, dimana bunyi-bunyi tersebut disusun dan dikomposisikan
menjadi sesuatu yang indah untuk didengar. Sang sutradara (mengutip seorang
tokoh yang bernama Murray Schaffer) mengatakan bahwa soundscape adalah cara belajar mendengarkan lingkungan, mengatakan
sebuah kebenaran kalu suara yang tidak beraturan dan bising sekalipun ketika
diolah sedemikian rupa akan menjadi sebuah musik yang dapat dinikmati. Hal tersebut
akan melatih kepekaan indera telinga kita untuk menyadari keadaan lingkungan
sekitar.
Alur bertutur film ini dimulai
dengan realitas kehidupan ekologi perkereta apian, mulai dari persiapan teknis
kereta api, pemesanan tiket penumpang, pemberangkatan, perjalanan dan
perhentian. Didalam film ini sang sutradara mencoba mengatakan bahwa perjalanan
adalah hal yang tidak hanya menjadi “sebuah perjalanan semata”, akan tetapi
menjadi sebuah perjalanan bermakna dan memiliki pesan atas pengalaman bunyi
didalam ekologi kereta api. Bunyi-bunyi yang menggambarkan keadaan kultur sosial
suatu masyarakat, bunyi-bunyi yang manggambarkan visual, dan bunyi-bunyi yang
menggambarkan sebuah realitas ekosistem manusia dari kebudayaan yang kompleks.
The
Journey of Sound telah membawa para penontonnya kedalam sebuah perjalanan
bunyi penuh eksperimen. Perjalanan keseharian sebuah ruang dan sistem yang
didalamnya terdapat rangkaian budaya secara turun temurun diwariskan, tetapi
hanya sedikit manusia yang bisa melihat makna dari semua fenomena tersebut
melalu sudut pandang yang tidak kasat mata. Kekuatan yang diciptakan oleh
perspektif bunyi. Bahasa bunyi yang kadang untuk sebagian orang sulit untuk
dipahami melalui telinga mereka. Tetapi film ini telah mempermudah kita untuk
memahami hal tersebut, bahwa bunyi dapat mengungkapkan sebuah realitas
kebenaran sebagaimana kita berbicara tentang sesuatu hal kepada orang yang
mendengarkan. Bunyi yang mempunyai ciri khas khusus melalui bahasa musikal
terstruktur dan dapat dipahami dan dinikmati. Maka kekuatan bunyi dan gambar
dalam film, khususnya sebuah film dokumenter, gambar dan suara tidak akan bisa
dilepas satu sama lain. Karena dua hal tersebut saling mendukung dan berkerja
sama untuk menceritakan sesuatu kepada penonton dan pendengar film. Bunyi dan
gambar dalam film yang mampu merubah sesuatu hal, demi kebenaran dari realita.
No comments
Post a Comment