Sejarah
Era
film bisu pada awalnya berkembang dengan durasi pendek (2-3 menit), dimana film
menggambarkan tentang kehidupan keseharian dan masih menggunakan kekuatan
visual untuk bertutur. Namun seiring berjalannya waktu, karena sifat alamiah
manusia yang selalu menuntut lebih dari yang sudah ada, muncul lah film-film
berdurasi panjang. Para penulis cerita film pada waktu itu mengambil referensi
dari novel dan cerita teater. Salah satunya pada film George Melies “A Trip to the Moon”, film tersebut
adalah rekaman gambar atas kejadian dan peristiwa yang terjadi di atas panggung
teater.
Pada
era keemasan Hollywood, dampak dari film-film seperti The Birht of Nation oleh D.W. Griffth telah memberikan dampak yang
sangat besar bagi sejarah perfilman dunia. Oleh karena itu Hollywood yang
sekarang kita kenal sebagai industri film terbesar dan tersukses di dunia,
telah membuat berbagai macam sistem dalam mengelola produksi, distribusi dan
eksebisi film-film mereka. Tahun 1917-1948 lahirlah sistem studio Hollywood.
Sistem studio telah membuat sebuah sistem untuk meningkatkan produktivitas
film-film mereka, kita kenal sebagai One
Years Plan. Disamping memproduksi film-film panjang atau feature, sistem studio Hollywood juga
melihat peluang besar yang dihasilkan dari film pendek. Menurut mereka membuat
film pendek sangatlah murah, karena tidak memerlukan lokasi yang begitu besar
dan mahal, tidak memerlukan peralatan yang banyak, dan hanya memerlukan kru
yang sedikit.
Namun
pada tahun 1927 dan setelahnya, bersamaan dengan munculnya teknologi film
bersuara dan juga sudah berwarna. Sistem studio berhenti memproduksi film
pendek, dan lebih berkonsentrasi pada film-film panjang. Memasuki tahun 1950
dimana televisi muncul, akibatnya produksi film-film pendek dan pemutarannya di
bioskop telah menurun atau bahkan menghilang. Beberapa film pendek telah masuk
kedalam industri pertelevisian yang diatur dengan sistem rating dan share sesuai
selera masyarakat pada masa itu. Film pendek pada saat itu untuk beberapa saat
telah menghilang.
Tahun
1960 berbagai sekolah film khususnya di Amerika Serikat telah mengeluarkan
filmmaker-filmmaker handal sampai bertahun-tahun setelahnya, seperti Martin
Scorsese, George Lucas, dan Fransisco Coppola. Mereka telah membuat film pendek
untuk menunjukkan bakat mereka, maka dari saat itu sekolah film di seluruh
dunia meningkat, dimana hal tersebut memunculkan peluang untuk meningkatkan
popularitas dari film pendek. Tahun 1980-1990 teknologi perekaman pun makin
maju, kamera dan bahan baku perekamannya (sebelummnya menggunakan celluloid)
digantikan dengan pita rekam didalam kaset. Harga dari kamera dan bahan baku
perekaman tersebut pun sudah sangatlah murah. Setiap rumah sudah memiliki
kamera video dan mereka dengan sangat mudah mengedit hasil rekamannya
menggunakan computer atau laptop didalam rumah mereka. Oleh karena itu film pendek
pun mulai bangkit kembali.
Kemudian muncul internet yang
memungkinkan siapapun dapat mengunduh hasil rekaman atau filmmnya dan
mempertontokannya ke publik secara bebas. Sejak saat itu sampai sekarang film
pendek dalam bentuk yang bermacam-macam telah dapat dengan mudah diproduksi,
dipertontokan dan diikut sertakan ke berbagai festival film terkenal di seluruh
penjuru dunia.
Struktur
Ketika membuat film pendek, filmmaker
harus menyampaikan ceritanya melalui gambar di layar, maka kekuatan karakter
dalam film harus dibangun melalui penulisan cerita. Cerita tersebut harus kuat
dalam segi deksiptif dan visual, oleh karena itu seorang penulis cerita film
harus dapat membayangkan secara visual mengenai jalan cerita yang akan ditulis.
Hal penting yang harus dihindari oleh seorang penulis film adalah didalam
tulisan ceritanya tidak diperbolehkan deskripsi pergerakan kamera, editing, dan
hal-hal teknis lainnya. Penulis cerita film khususnya film pendek, harus mampu
memvisualisasikan hal-hal teknis tersebut melalui cerita yang dia buat.
Film pendek sebagaimana mediumnya
menuntut sebuah penuturan yang kreatif. Hal tersebut bisa didapatkan dari
berbagai referensi bentuk-bentuk hasil karya seni atau lainnya, melalui
membaca, mendengar, atau menonton. Di Indonesia sendiri dan negara-negara
lainnya yang miskin apresiasi, sejak kecil telah disuguhkan beberapa bentuk
karya seni bertutur.
Saat masih kecil khususnya pada
anak-anak yang tinggal ditempat yang masih kental akan budaya, masih sering
mereka mendengar hal-hal seperti dongeng, legenda, mitos, dan berbagai foklor
lainnya yang memiliki makna dan pesan yang berguna untuk kehidupan. Namun bagi
anak-anak yang tinggal ditempat seperti perkotaan, dimana teknologi dan
fasilitas sudah lebih berkembang, mereka menonton film kartun atau bahkan
sinetron.
Bentuk lainnya seperti novel, cerpen dan
komik, yang pada saat ini cukup berkembang didalam kelompok remaja. Fenomena
tersebut merupakan perkembangan nilai estetika didalam diri seseorang yang
mempengaruhi bagaimana dan seperti apa mereka akan membuat sebuah karya film.
Hal-hal itu juga yang menjadi referensi (sengaja ataupun tidak) pada saat
membuat cerita film pendek, khususnya di Indonesia.
Cerita dalam film pendek haruslah
kreatif dan inovatif. Memang tidak ada sepenuhnya ciptaan bentuk baru didunia
ini, tapi kita harus berusaha membuat seseuatu yang baru melalui rangkaian
bagian-bagian yang disusun sedemikian rupa. Oleh karena itu dalam mengatur
bagian-bagian tersebut diperlukan struktur untuk membuat suatu bentuk yang utuh
yakni film pendek. Diperlukan struktur untuk memudahkan penulis bagaimana
menyusun cerita yang menarik dan tidak berujung dengan sesuatu yang dapat
ditebak (klise), ada beberapa macam aturan struktur penulisan untuk film pendek.
Pertama,
struktur 3 babak yang terdapat di sistem Sinema Hollywood Klasik. Dimana cerita
dibangun melalui tahapan pengenalan, pengembangan, permasalahan, klimaks dan
penyelesaian. Struktur ini dalam film pendek biasanya dapat berdurasi 10 menit
lebih, namun struktur ini juga yang telah banyak lolos dan menang diberbagai
penghargaan festival di penjuru dunia karena banyak disukai oleh kebanyakan
orang pula. Sulitnya struktur ini adalah pengembangan atas jalannya cerita
harus perlahan dan tentunya kreatif, agar penonton terus tertarik dengan sebuah
konflik yang berjalan dengan panjang.
Kedua,
set up – pay off atau diistilahkan
dengan Jokes Structure. Struktur ini
adalah perpendekan dari struktur 3 babak, dimana struktur ini tidak melalui
tahap pengenalan atau pengembangan tetapi langsung berhadapan dengan
permasalahan yang terjadi dengan tokoh dalam cerita. Setelah bertemu dengan
permasalahan, si tokoh harus dengan cepat menemukan penyelesaiannya.
Panjang-pendeknya si tokoh menemukan jalan keluar ditentukan dengan kualitas
klimaks yang penulis buat, layak atau tidak penonton menunggu pay off yang akan terjadi.
Terakhir,
struktur yang tidak patuh dengan kedua struktur sebelumnya dan/atau bahkan
tidak ada unsur cerita atau naratif didalamnya, eksperimental. Kebanyakan film
yang menggunakan struktur ini sangat sulit untuk membuat penonton paham dengan
maksud si pembuat filmnya, hanya sebagian komunitas tertentu yang aktif
mendalami dunia seni atau paham dengan filosofi gambar tertentu bisa mengerti.
Sulitnya membuat film eksperimental adalah dibutuhkan riset dan pengembangan
yang mendalam, dan film-film tersebut juga tidak dapat dipandang sebelah mata
karena kesulitannya atau bahkan karena “ketidak jelasannya”, karena banyak
pionir film didunia yang telah membuat berbagai teknik atau spesial efek baru
secara eksperimental dan telah digunakan diberbagai bentuk film saat ini.
No comments
Post a Comment