PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Film berkembang menjadi sebuah industri
berawal dari negara Amerika, dimana seorang ilmuwan bernama Thomas A. Edison
menemukan alat yang bisa merekam gambar bergerak (kinetograph), merekam suara (kinetophone)
dan alat untuk memproyeksikan gambar bergerak (kinetoscope). Disaat yang bersamaan dua orang ilmuwan bersaudara
Louis dan Auguste Lumiere asal Perancis mengembangkan apa yang sudah ditemukan
Edison, yaitu alat untuk merekam gambar bergerak dan sekaligus bisa
memproyeksikan hasil perekaman gambar tersebut yang dikenal sebagai cinematographe lumiere (1895). Lumiere
bersaudara mulai mempertontokan hasil filmnya kepada masyarakat umum di Grand Café,
Paris dengan membeli tiket terlebih dahulu, dimana hal tersebut adalah cikal
bakal sebuah industri film.
Industri
film di Perancis mulai berkembang dengan munculnya Pathe oleh Charles Pathe.
Pathe merupakan industri film terbesar di Eropa atau khususnya Perancis pada
zamannya, puncaknya terlihat ketika Charles membuat konsep kerja tahapan dalam
produksi film yang dikenal sebagai Vertically
Intergrated Company (V.I.C) yakni produksi, distribusi dan eksebisi.
Charles Pathe bersama industri film Pathe-nya menjadi pionir dalam hal
manajemen terstruktur dalam berkerja, dimana dia juga merekrut Ferdinand Zecca
sebagai sutradara dan kru-kru lainnya.
Pada
tahun 1900-1907 beberapa imigran Yahudi keturunan Eropa ke Amerika Serikat
(dimana ketika itu sedang maraknya slogan ”American
Dream” memunculkan gelombang imigran dari berbagai negara seperti Perancis,
Irlandia, Skandinavia dan salah satunya Yahudi) yang sebagian kecil merupakan
pedagang. Mereka melihat peluang besar dari keuntungan yang bisa di dapat dari
bisnis film ini. Edison melihat hal yang dilakukan para imigran Yahudi, menurut
Edison film belum waktunya untuk dipublikasi atau bahkan diperdagangkan maka
dia mematenkan penemuan teknologi pembuatan filmnya (dalam sejarah film
peristiwa ini terkenal dengan Patent War
antara Edison dengan Yahudi dan Trust War
antara Motion Picture Patents Company
dengan The Independents). Hal
tersebut tidak membuat para imigran Yahudi untuk mundur, untuk menghindari
Edison mereka pindah ke sebuah dusun di pantai barat Amerika yang nama tempat
tersebut menjadi cikal bakal industri film di Amerika yang kita kenal saat ini
sebagai Hollywood.
Dari Hollywood pun
terbentuk sistem yang mengatur segala tahapan dari pembuatan sebuah film. Seorang
sutradara sekaligus produser di Hollywood yang bernama Thomas Ince mencetuskan
ide tentang pembagian posisi pekerjaan dalam produksi film (job desk) dan shooting and continuity script, dimana hal ini berfungsi untuk
efisiensi dan ekonomis dalam produksi film. Berangkat dari konsep ide Ince,
Hollywood mengembangkan sistem produksi dalam film jauh lebih kompleks, dimana
seperti sistem sutradara, star system
dan sistem studio pun lahir untuk menjamin unsur-unsur yang membentuk sebuah
film laku ditonton oleh masyarakat, mulai dari sistem yang digunakan lalu
produksi, distribusi dan eksibisi. Berkembang pesatnya sistem ini di Hollywood
berpengaruh dalam industri film global, negara-negara yang sudah berkembang
dengan industri film inipun mengadaptasi sistem yang telah dijamin oleh
Hollywood akan membuat film laku ditonton seperti Inggris, India dan Jepang.
B.
Rumusan Masalah
Jepang
adalah salah satu negara tertua dan terproduktif dalam hal industri film. Mark
Cousins di dalam bukunya The Story of
Film mengatakan ”It was producing
more than 400 films per year and had an industrial film system in the late
1920s and 1930s similar to US” (2004: 125). Tahun 1950-1960an yang
merupakan Golden Era dari industri
film di Jepang menghasilkan film-film masterpiece
seperti Rashomon (1951) sutradara
Akira Kurosawa memenangkan Golden Lion
di Venice International Film Festival,
film Rashomon pun memberikan pengaruh
dan dampak yang besar bagi perkembangan sejarah pembuatan film. Banyak lagi
film-film Jepang pada rentang tahun tersebut memenangkan penghargaan dan
mendapatkan apresiasi bagi penonton dan pengamat film dunia.
Pada tahun 1970an industri
film Jepang mulai menurun diakibatkan perkembangan dampak dan pengaruh
munculnya televisi. Banyaknya penonton film yang datang ke bioskop juga
mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari puncak golden era industri film Jepang pada tahun 1960an dapat mencapai 1
triliun penonton, di tahun 1970 hanya mencapai 254 milyar penonton. Fasilitas
untuk menonton film di Jepang seperti bioskop ataupun mini-theater juga mulai berkurang. Namun mulai tahun 1990an sampai
sekarang, industri film Jepang mulai bangkit kembali. Multiplex Cinemas dibangun pada tahun 1993, industri pertelevisian
di Jepang mulai berkerja sama dengan industri film pada tahun 1998, dan
berbagai perusahaan teknologi di Jepang juga masuk ke dalam industri film.
C.
Tujuan
Makalah
yang berjudul ”Industri Film Global (Jepang)” ditujukan untuk menjelaskan
perkembangan film atau sinema di negara Jepang sebagai industri, mulai dari
aspek sejarah pasca perang dunia ke II, konflik yang ditimbulkan antara
film-film yang diimpor dari luar Jepang dengan film negara sendiri, era
keemasan sinema Jepang, media pemutaran film dan perusahaan-perusahaan yang
berkembang dalam bidang distributor film di Jepang.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Industri Film di Jepang
Produksi film di Jepang selama
Perang Dunia ke II (selanjutnya akan disingkat PD II) tidak terlalu banyak saat
setelah perang usai. Periode film bisu di Jepang antara tahun 1896-1939 tidak
menghasilkan film-film yang berdampak besar pada perkembangan perfilman dunia.
Mungkin salah satu perkembangan penting di era film bisu Jepang adalah adanya benshi, yaitu seseorang dibelakang layar
yang ketika film diputar menarasikan isi jalan cerita film yang sedang ditonton
untuk membantu penonton memahami isi film. Sisanya produksi film saat PD II di Jepang
hanya memberikan 4% dari total film-film yang berkembang sampai saat ini,
sementara sisanya diproduksi setelah PD II (Harding, http://ryan-harding. com/essays/earlyjapanesecinema
diunduh tanggal 28 April 2014 jam 9.23).
Jepang terkalahkan di PD II pada tanggal
15 Agustus 1945. Kondisi Jepang pasca perang sangatlah sulit, seluruh penduduk
mengalami kemiskinan karena rusaknya berbagai fasilitas yang menopang
pergerakan ekonomi di Jepang dan rasa kehilangan atas keluarganya yang
meninggal saat perang. Untuk itu perhatian dialihkan melalui berbagai macam
bentuk hicuran di Jepang dan salah satunya adalah film. Masyarakat Jepang pasca
PD II diajak untuk datang ke bioskop, untuk menonton film-film yang diimpor
dari luar Jepang. Rata-rata film yang diputar di bioskop adalah film yang
didistribusi di Perancis dan Amerika. Industri film di Jepang kembali bangkit,
walaupun hanya sebatas distribusi dan eksebisi di bawah kontrol Motion Pictures and Theatrical Unit of the
Civil Information and Education Section di dalam sebuah badan yang bernama General Headquarters / GHQ (Yoshio,
2009: 7).
GHQ mengontrol penyediaan dan
pemutaran film-film di Jepang. Film-film yang diputar di bioskop Jepang saat
itu hanya memutarkan film-film yang berasal dari luar Jepang atau dalam kata
lain industri film di Jepang hanya sebatas (seperti yang sudah dikatakan
sebelumnya) distribusi dan eksebisi, dimana film diimpor dari luar yakni dari
Amerika. Sementara film-film dari dalam negeri Jepang tidak diizinkan untuk
diputar di dalam bioskop.
Even after the end of the war, Central Motion
Picture Exchange (CMPE) of the GHQ monopolized the provision and screening of
imported films. All new imporeted films shown in Japan for a year and a half after
the war, until the end of 1946 were Americans films. Private companies were not
permitted to import films (Yoshio, 2009: 8).
Sekitar tahun 1950an atas pengaruh
dari seorang tokoh bernama Kawakita Nagamasa yang mendirikan Towa Shoji Movie Departement, mengatakan
bahwa industri film Jepang harus mengambil alih tahapan produksi dan mengurangi
impor film luar. Bersamaan dengan itu Nippon
Cinema Corporation (NCC) telah memproduksi dan mendistribusikan banyak film
dengan dibawah naungan British Film
Institute (BFI). Oleh karena itu muncul sebuah sistem di Jepang yang
dikenal sebagai ”quota system” dimana
sistem ini mengatur jumlah film yang diputar antara film luar dengan film
Jepang sendiri.
…”quota system”, according to which the number of
films imported to Japan needed to be equal to the number of Japanese films
screened in the cinemas. This system was applied to share of Americans, British
and French films present in Japan’s film market at the time. The quota allowed
to each importing company, was based on the average of the number of films it
screened the previous year and its distribution revenue
(Yoshio, 2009: 9).
Pada tahun 1950 industri film di
Jepang mencapai puncaknya, beberapa sutradara film yang berpengaruh dalam
sejarah pun muncul seperti Yasujiro Ozu, Akira Kurosawa, Kenji Mizoguchi, Teinosuke
Kinugasa, Keisuke Kinoshita dan lain sebagainya. ”The Japanese film industry reached its peak in the 1950s. Five
companies – Shochiku, Toho, Daiei, Toei, and Nikkatsu – screened two films per
week for 50 weeks a year” (Yoshio, 2009: 9).
Pada pertengahan 1950an jumlah
penonton dan fasilitas untuk memutarkan film di Jepang mencapai puncaknya,
dalam rentang tahun 1957-1960 jumlah penonton film di Jepang mencapai 1 triliun
padahal jumlah penduduk Jepang saat itu hanya sekitar 100 milyar, artinya ada
beberapa orang yang datang ke bioskop lebih dari sepuluh kali. Selain itu
fasilitas untuk memutar film juga meningkat sampai dengan 7000 bioskop, bahkan
di kota kecil atau desa di Jepang pun terdapat dua sampai tiga bioskop (Yoshio,
2009: 10).
Namun pada tahun setelah 1960an,
industri film di Jepang mulai menurun. Karena munculnya televisi dengan
berbagai model acara yang dapat ditonton. Film yang mengharuskan penonton datang
ke bioskop dan harus membayar tiket sebelum menonton mulai ditinggalkan oleh
masyarakat Jepang, beralih ke televisi yang jauh lebih praktis dan ekonomis.
Jumlah penonton film
yang bisa mencapai 1 triliun pada tahun 1960, menurun drastis menjadi 254
milyar dan paling parah pada tahun 1996 yaitu hanya 119 milyar penonton. Jumlah
fasilitas bioskop juga menurun dengan sangat drastis, pada tahun 1960 terdapat
7,231 bioskop, tahun 1970 menurun menjadi 3,246 bioskop dan paling parah pada
tahun 1993 hanya terdapat 1,734 bioskop (Yoshio, 2009: 10).
B.
Media Pemutaran Film
1.
Art Theater Guild
(ATG) – Independent Art House Cinema
ATG didirikan pada
Nopember 1961 yang dikhususkan untuk Japanese
artistic films. Dicetuskan oleh Kawakita Kashiko dari Towa Eiga dan didukung oleh Mori Iwao dari Toho. ATG didirikan untuk film-film serius di Jepang dan luar
Jepang yang sudah pasti mendapatkan keuntungan yang sedikit, karena tidak semua
masyarakat menyukai jenis film ini. Namun pada pertengahan tahun 1980an, bentuk
artistic films mulai suskses secara
komersial, tetapi masih memiliki harga yang rendah.
2.
Mini-Theaters - Independent Art House Cinema
Proses perkembangan
industri film di Jepang termasuk box-office
dipantau oleh sebuah badan yang bernama Kinema Junpo Top Ten. Berdasarkan hasil
data Kinema Junpo Top Ten dan perjalanan panjang film artistic di Jepang membuktikan bahwa film artistic memiliki potensi yang sangat besar di mini-theater.
3.
Video Rental Stores dan V-Cinema
Pertengahan tahun
1980an video rental mulai tersebar
secara luas, jumlah total baik toko komersial secara swasta ataupun toko milik
pribadi sekitar 10,000 toko diseluruh penjuru Jepang. Lahirnya video rental memberikan peluang untuk
kegagalan yang dihasilkan artistic film,
menggantikan mini-theater film-film art mulai tersedia di toko-toko rental.
Berdirinya video rental yang menyediakan film-film
yang dapat ditonton secara individual atau sendiri, melahirkan sebuah genre
baru di perkembangan industri perfilman Jepang yakni V-Cinema.
V-cinema works are those that are not screened at
cinemas, but instead are directly released on video at video rental stores.
Just like the mini-theaters leading to the establishment of small-scale film
importing companies, this boom of the V-cinema led to the development of video
companies and small-scale film production companies specializing in V-cinema
works (Yoshio, 2009: 13).
Perlahan video rental dan V-cinema mulai menurun, tren berubah ke film-film Jepang yang
didistribusikan oleh perusahaan Jepang dan diputar di mini-theater.
4.
Multiplex Cinema
Industri
film di Jepang melalui perusahaan-perusahaannya mulai masuk ke pasar Multiplex, dimana multiplex adalah milik orang asing. Para pembuat film di Jepang
sendiri meragukan pasar industri film yang ada di Jepang, oleh karena itu
mereka melakukan pendekatan yang signifikan dengan pasar industri film diluar
Jepang seperti multiplex.
C.
Kebangkitan Industri Film di Jepang Periode 1990 –
Sekarang
Setelah
pasar multiplex menunjukkan
perkembangan yang membaik untuk industri film di Jepang. Periode panjang
penderitaan dari industri film di negara ini sejak akhir tahun 1960 mulai
bangkit kembali. Masyarakat mulai kembali menonton film di bioskop, pandangan
masyarakat Jepang dahulu kala yang memandang bahwa bioskop adalah tempat yang
kotor dan memiliki kursi yang tidak nyaman untuk diduduki selama hampir dua jam
lebih, tergantikan dengan lahirnya multiplex.
Multiplex berhasil mengembalikan era
keemasan (golden age) dari industri
film di Jepang.
Industri
pertelevisian di Jepang pun mulai berkerja sama dengan industri film, dengan
munculnya acara-acara televisi dengan genre drama teatrikal. Berawal dari
munculnya serial drama teatrikal yang berjudul Steel Edge of Revenge oleh Goyokin didistribusikan oleh Fuji
Television Network pada tahun 1969. Sejak itu banyak TV yang membuat acara
serupa. Sampai saat ini peran dari TV telah menjadi faktor penentu dari sebuah
kesuksesan atau kegagalan sebuah film (Yoshio, 2009: 15).
Kesimpulan
Dengan
mengetahui perkembangan industri film di negara lain, kita dapat belajar bahwa
sesuatu itu tidak didapatkan melalui proses yang mudah. Jepang butuh puluhan
tahun untuk bangkit setelah runtuhnya era keemasan perfilman mereka dari tahun
1970an sampai akhirnya kembali mulai merangkak bangkit pada tahun 1990an. Atau
pada masa pasca PD II yang dimana produksi, distribusi dan eksebisi film-film
mereka sendiri tidak diizinkan di negara mereka. Bagaimana mereka bangkit
secara bertahap untuk membangun sebuah industri film yang besar dan kuat
layaknya Hollywood.
Referensi
Cousins, Mark. 2004. The Story of Film. England and Spain:
Pavillion Books
Harding, Ryan. 2014. ”The Development of Early
Japanese Cinema: from Chushingura to
a Page of Madness,” http://ryan-harding.com/essays/earlyjapanesecinema
Yoshio, Kakeo. 2009. The Guide to Japanese Film Industry & Co-Production. Japan:
UNIJAPAN International Promotion Departement
Filem Kurosawa sangat menarik... Saya ingin berbagi wawancara dengan Akira Kurosawa (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/wawancara-dengan-akira.html
ReplyDelete