Film dalam sejarah telah memberikan
pengaruh dan dampak yang dibuat oleh masing-masing sutradara pada zamannya, hal
tersebut muncul dari kekuatan medium film itu sendiri. Mengutip perkataan
Lauren Becall yang mengatakan “The
industry is shit, it’s medium that’s great” bahwa perkembangan film dalam
sejarah mengacu pada perkembangan teknik yang digunakan oleh masing-masing
sutradara pada setiap periode, bagaimana mereka menggunakan teknik tersebut dan
mengembangkannya untuk film-film mereka dan bagaimana mereka mengubah medium
film itu sendiri yang ditujukan untuk memberikan pengaruh sinematik kepada para
filmmaker selanjutnya.
Medium film sendiri berangkat dari
kemampuan yang dihasilkan oleh ilmu fotografi, dimana kumpulan gambar statis
yang berurutan pada sebuah peristiwa dapat menjadi sebuah gambar bergerak,
sistem kerja ini dikenal sebagai intermitten
movement. Lalu kemampuan tersebut didukung oleh kemampuan alamiah manusia
yakni mata yang bisa menangkap sebuah gambar dalam sepersekian detik dan masih
dapat mengingat gambar tersebut walaupun sudah berlalu, sistem kerja mata
inipun dikenal dengan istilah persistence
of vision. Istilah-istilah tersebut tidak akan disebut dalam sejarah
apabila tidak adanya kemampuan dari sebuah medium, kemampuan yang berhasil
diciptakan oleh sekumpulan ilmuwan, temuan yang menghasilkan sebuah teknologi.
Teknologi film yang berkembang
seiring berjalannya waktu dalam sejarah selalu mempengaruhi para filmmaker
untuk menuangkan visi dan misinya. Berbagai faktor dan latar belakang sang
filmmaker mempengaruhi bagaimana mereka berkerja. Mark Cousins dalam bukunya The Story of Film (yang merupakan
sebagian besar adalah referensi tulisan ini dari bagian introduction) menyebutkan berbagai nama filmmaker dengan berbagai
latar belakang dalam mewujudkan kreatifitas didalam film-film mereka seperti
Martin Scorsese’s seorang keturunan Italia-Amerika yang pada masa kecilnya
dipenuhi oleh banyak imajinasi, Shohei Imamura seorang anarkis filmmaker dari
Jepang yang membenci budaya dan kesopanan berasal dari tanah kelahirannya,
Steven Spielberg yang berusaha melakukan sesuatu yang berbeda karena bosan
dengan pembuatan film secara normal pada umumnya, dan lain sebagainya. Berbagai
visi dan misi para filmmaker tersebut lalu memberikan pengaruh dan dampak
kepada para filmmaker sesudahnya, hal tersebut menjadi sebuah model skema
didalam pembuatan film dalam sejarah. Kemudian perkembangan perngaruh dan
dampak yang telah diberikan oleh para filmmaker tersebut ditiru (seperti apa
yang telah diperkirakan) oleh para filmmaker selanjutnya, mereka telah saling
melihat bagaimana berkerja membuat sebuah adegan dalam film dan kemudian mereka
berkolaborasi yang menimbulkan pemakaian sebuah teknik yang sama tetapi dengan
tujuan yang berbeda dan tentu dengan teknologi dari medium film yang berbeda.
Hal ini oleh E.H. Gombrich yang menulis The
Story of Art disatukan oleh sebuah konsep “schema plus correction” atau menurut Cousins lebih cocok disebut
sebagai “variasi”.
Skema film adalah sebuah bentuk
gagasan serta ide dari seorang filmmaker pada zamannya yang dituangkan kedalam
sebuah shot yang membentuk sequence didalam film menggunakan medium teknologi
film yang ada pada zamannya. Lalu dari kumpulan skema dari masing-masing
filmmaker pada zamannya ditiru oleh para filmmaker pada era selanjutnya, meniru
dalam hal ini tidak serta merta menjiplak apa adanya, tetapi mereka harus
mengubah teknik tersebut lebih berkembang sesuai kemampuan, mengubah jalan
penceritaan berdasarkan isu politik atau tren yang berkembang pada zaman itu.
Hal tersebut yang telah disebutkan diatas adalah model skema ditambah variasi.
Kiri dan kanan dari atas ke bawah: The
Battleship Potempkin (1925) oleh Sergei Eisenstein, The Untouchables (1987) oleh Brian de Palma, The Naked Gun (1994) oleh David Zucker
Pertama adalah dari film The Battleship Potempkin oleh Sergei
Eisenstein (1925). Film ini terkenal karena telah menghasilkan sebuah teori
dari medium film itu sendiri yaitu pada pemotongan kumpulan shot atau gambar
yang tidak berhubungan digabung menjadi sebuah makna tertentu yang ditangkap
oleh penonton, konsep kreatifitas ini terlihat pada adegan yang dikenal sebagai
“The Odessa Staircase”. Hal ini
dikenal sebagai teori montase (montage
theory) yang berkaitan dengan teknik editing film.
Kedua,
bertahun-tahun selanjutnya Brian de Palma membuat film yang berjudul The Untouchables (1987) membuat adegan
serupa seperti di The Odessa Staircase
sebagai bentuk kekaguman dan tribute
atas Eisenstein. Hal yang serupa selain adegan koflik baku tembak di turunan
tangga adalah jatuhnya kereta bayi, sementara perkembangan kreatifitas yang
dilakukan Palma adalah dengan gaya pengambilan gambar yang lebih variatif, type of shot yang ditampilkan lebih
efisien dan jelas tujuannya, ritme editing yang digunakan lebih lambat dengan
disertai banyak efek slow motion dan
lokasi setting pada interior.
Terakhir
dari David Zucker didalam film The Naked
Gun (1994), terlihat juga adegan baku tembak diatas turunan tangga dan
adegan kereta bayi. Motivasi Zucker membuat adegan tersebut adalah sebatas tribute untuk Eisenstein. Perbedaanya
terletak pada saat adegan kereta bayi, pergerakan kamera cenderung statis, type of shot yang digunakan lebih banyak
medium close up dan close up untuk menekankan impresi emosi
dan dramatik adegan, dan sama seperti film Palma, Zucker melakukan adegan ini
pada interior. Hal lain dari Eisenstein yang ditiru Zucker adalah teori montase
atau editing dalam filmnya, dimana dua buah kejadian dijadikan satu menggunakan
gaya editing classicism dan paralel editing.
No comments
Post a Comment