Sifat
gamelan Bali yang sosial dan religius wajarlah jika perkembangannya berhubungan
dengan kegiatan umat beragama (Hindu) dalam pelaksanaan upacara-upacara suci
ataupun aktivitas adatnya.
Hubungan dengan
kehidupan adat Bali
Tiap
desa di Bali terdiri dari banjar-banjar. Tiap desa memiliki alat-alat gamelan,
malah hampir setiap banjar ada alat gamelannya.
Dalam
hubungan ini desa adat di Bali memegang urusan-urusan penting terhadap kehidupan
adat itu sendiri. Anggota banjar bertanggung jawab melaksanakan awig-awig banjarnya. Banjar-banjar
bertanggung jawab pada desa adatnya sehingga di sini terkenal system hidup
”suka-duka” dan ”karma/sima” yang selalu menjiwai arti hubungan-hubungan itu.
”Suka” yang berarti menerima keselamatan dan ”Duka” berarti menerima
halangan/kemalangan. ”Krama/sima” adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
suatu banjar atau desa adat di Bali. Dalam hubungan pelaksanaan acara-acara
suka duka inilah fungsi gamelan itu menjadi penting, artinya semakin besar
upacara yang dilakukan semakin banyak jenis barungan gamelan yang disajikan
untuk memeriahkan suasana jalannya upacara.
Misalnya
upacara pengabenan (bakar mayat)
tahun 1900-1950 di Bali masih sangat terasa adanya acara-acara yang
dilaksanakan secara besar-besaran sehingga tidak sedikit biaya yang diperlukan.
Gamelan-gamelan selama persiapan acara itu (biasanya sampai berhari-hari)
ditabuh. Barungan gamelan yang ditabuh antara lainnya; gambang, angklung,
gender wayang dan yang terakhir gong kebyar yang mendominasi acara tersebut.
Sejak
ada acara pengabenan masal tahun 1967
sampai dengan 1970, jarang adanya acara pembakaran mayat besar-besaran lagi,
menyebabkan pula semakin menipisnya fungsi gamelan yang bersifat sacral itu.
Tetapi secara keseluruhan gamelan Bali tidak pernah mengalami kematian dalam
arti yang sesungguhnya.
Hubungan dengan
pelaksanaan Agama (Hindu)
Desa
Adat di Bali memegang urusan penting mengenai Adat itu sendiri. Masing-masing
desa Adat bertanggung jawab kepada tiga tempat suci persembahyangan bagi
anggota desanya, yaitu Pura Puseh, Pura
Baleagung dan Pura Dalem, yang ketiganya disebut ”Kahyangan Tiga”. Tiap enam
bulan atau satu tahun sekali di masing-masing Pura itu diadakan persembahyangan
bagi anggoya desanya. Ini berarti dalam satu tahun terdapat banyak kegiatan
sehubungan dengan Pura dan tempat suci. Disinilah fungsi gamelan penting karena
sifat ke-sakral-annya.
Hubungan dengan arus
tourisme
Bali
adalah salah satu daerah pariwisata di Indonesia tentu akan mendapat pengaruh
suasana dunia kepariwisataan itu sendiri, selama arus turis keluar masuk Bali.
Pengaruh ini tentu ada yang positif da nada yang negative terhadap kehidupan
kesenian pada umumnya terutama seni musik dan tari. Hali ini dilihat dari sudut
kecil dunia pariwisata yang tentu mendahulukan faktor-faktir servis, praktis
dan ekonomis. Dan ketiga faktor itu akan selalu berkait jalannya sehari-hari.
Bila para turis menonton tari-tarian, maka gamelan-gamelan sebagai iringan
tarian akan sangat baik perkembangannya.
Hubungan dengan seni
lainnya
Hubungan
yang paling dekat antara gamelan di Bali dengan kesenian lainnya ialah dengan
seni tari dan seni suara. Tari Arja
dan Janger membuktikan sekali dalam
hal ini, pada suatu pementasan jenis tarian ini sekaligus berpadu dengan musik,
tari dan vokal dan saling menambah keindahan satu sama lainnya.
Hubungan dengan generasi
yang ada
Maksud
istilah generasi yang ada lebih ditekankan pada kader-kader muda sebagai
calon-calon pelanjut warisan generasi yang terdahulu. Pengaruh lingkungan
antara pemuda di desa dengandi kota tentu berbeda, di desa masih sangat kuat
perasaan untuk meneruskan seni musik ini sesuai dengan tradisinya, karena
satu-satunnya hiburan di desa adalah memainkan gamelan dengan gratis pula. Di
kota walaupun belum terlihat betul kemunduran minat para kader muda terhadap
gamelan, mungkin itu merupakan sebuah tantangan dengan hiburan kota (bioskop,
lagu-lagu pop, televisi) yang sangat besar pengaruhnya untuk merangsang
pertumbuhan dan bakat seni yang ada pada mereka.
No comments
Post a Comment