oleh Rahayu Supanggah dalam bukunya yang
berjudul “Bothekan Karawitan I”
Gamelan
ini dulu hanya dimiliki oleh beberapa keraton (juga beberapa kadipaten,
termasuk di luar Surakarta dan Yogyakarta) saja. Perorangan, masyarakat umum,
dan lembaga di luar keratin tidak dibenarkan memiliki perangkat gamelan jenis
ini. Gamelan dan gendhing Kodok Ngorek oleh masyarakat umum hampir selalu
dihubungkan dengan hajatan atau peristiwa pernikahan. Belum diketahui mengapa
gamelan ini disebut Kodok Ngorek. Suara gamelan ini tidak mirip dengan suara kodhok
(katak) yang sedang ngorek (menyanyi, berbunyi).
Sampai
sekarang, banyak anggota masyarakat Jawa yang menggunakan, gendhingnya
(walaupun ditabuh pada perangkat gamelan biasa atau perangkat gamelan ageng,
bukan perangkat gamelan Kodok Ngorek) pada saat temanten temu, sebuah upacara tradisi pernikahan Jawa dimana
mempelai pria dan wanita secara resmi dipertemukan di hadapan para tamu
(sebagai saksi) dalam sebuah upacara adat pernikahan yang disebut panggih (artinya temu atau jumpa), satu
rangkaian upacara yang terdiri dari berbagai kegiatan dengan berbagai
asesorisnya yang khas dan simbolik.
Sebenarnya
gamelan Kodok Ngorek di keratin tidak hanya digunakan sebagai kelengkapan dari
upacara pernikahan saja, ia juga hadir dalam berbagai upacara, contoh seperti
pada grebeg Puasa, grebeg Maulud dan
grebeg besar (grebeg bulan haji, Dzulhijah). Kodok ngorek ditabuh menyertai
prosesi gunungan (sepasang tumpeng
nasi yang sangat besar dilengkapi dengan lauk-pauknya yang berupa sayur-sayuran
dan hasil-hasil pertanian) dari keratin menuju ke masjid besar melalui sitinggil, tempat dimana biasanya
gamelan Kodok Ngorek dan lainya disimpan, digelar dan ditabuh.
Gamelan
Kodok Ngorek juga ditabuh pada saat ada peristiwa kekeluargaan kerabat raja. Ia
ditabuh dan difungsikan sebagai tengara,
wara-wara atau pengumuman, tanda atau
berita tentang adanya kelahiran bayi (atau juga kematian keluarga raja)
perempuan. Kodok Ngorek dengan demikian sering diasosiasikan dengan sifat
kefeminiman. Dapat diduga dan dapat dimengerti bila kemudian kita mencoba untuk
menghubungkannya dengan karakter bunyi atau karakter satu-satunya repertoar
gendhing yang dimilikinya (gendhing Kodok Ngorek) yang relative halus dan
feminism. Hal ini mungkin menjadi lebih jelas lagi ketika kita mencoba untuk
membandingkan karakter suara/gendhing gamelan Kodok Ngorek ini dengan karakter
bunyi/gendhing perangkat gamelan pakurmatan
lainnya yang sejenis, yaitu perangkat gamelan Monggang yang relative lebih
keras dan maskulin.
mas punya teks / lirik kebo giro ng' ?
ReplyDelete