BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perancis
adalah pusat dari dunia perfilman yang lahir dan berkembang di Eropa. Sejak dua
orang ilmuwan bersaudara Louis dan Auguste Lumiere mengembangkan sebuah alat
untuk merekam gambar bergerak dan sekaligus memproyeksikan hasil perekaman
gambar tersebut yang lalu dikenal sebagai cinematographe
lumiere (1895). Lumiere bersaudara juga sudah mulai mempertontonkan hasil
dari film-film yang telah mereka buat ke masyarakat umum di Grand Café, Paris.
Setelah
itu beberapa filmmaker yang berasal dari Perancis pun mulai membuat film,
diantaranya adalah George Melies yang pertama kalinya dalam sejarah sinema
mengembangkan kemampuan dari kreatifitas yang bisa dihasilkan dari medium film
dengan membuat film yang memiliki unsur naratif atau penceritaan serta
memasukkan unsur mise en scene yang khas. Selain itu juga dalam sejarah sinema
Perancis muncul salah seorang tokoh dari sebuah keluarga yang berlatar belakang
pedagang sosis, yaitu Pathe Freres yang menciptakan awal dari terbentuknya
sebuah industri film tersebesar di Eropa khususnya Perancis yang bernama Pathe.
Namun
pasca Perang Dunia ke-I (1914-1918) industri perfilman di Perancis hancur, lalu
muncul seorang tokoh yang bernama Louis Delluc yang mengatakan bahwa sinema
Perancis harus menjadi sinema dan sinema Perancis harus menjadi Perancis. Hal
tersebut memunculkan niat para pencinta dan pembuat film untuk menyaingi
Hollywood, oleh karena itu lahir berbagai aliran seperti Impresionisme yang
mengatakan bahwa kamera dan imaji yang dihasilkan dapat menghasilkan realitas
yang berbeda ataupun Surrealisme yang mengatakan bahwa film disamakan seperti
mimpi yaki tidak memiliki sebab-akibat yang logis dan diorientasi ruang, dan
Realisme Poetik yang menceritakan kehidupan kaum marginal yang sangat berat
dengan menggunakan gaya visual yang puitik. Semua itu adalah usaha Perancis
untuk menemukan serta menciptakan identitas atau ciri khas dari sinema nasional
mereka yang sangat kuat pengaruhnya dengan seni (film as art).
“In
1920s France. Industrial cinema was in crisis. Hollywood was flooding the
market and in 1926 produced 725 films, Germany made over 200, but France
produced only 55, many made by small companies. As would be the pattern
throught the course of film history, successful nation films tended to be the
smaller and more distinctive ones that attempted to challenge romatic cinema.
However, in the case of 1920s France, naturalism was not the most important
means of attack. Influenced by the impressionist painting of Claude Monet and Camille
Picasso and the writings of Charles Baudelaire, filmmaker such as Germaine
Dulac, Abel Gance, Jean Epstein and Marcel L’Herbier tried to capture the
complexity of people’s perception of the real world and the way in which mental
images repeat and flash before our eyes (Cousins 2004:
90).
Berpuluh-puluh
tahun setelahnya atau pada tepatnya pasca Perang Dunia ke-II (1950an). Dunia
perfilman Perancis semakin berkembang dengan lahirnya film sebagai ilmu
pengetahuan yang masuk ke berbagai universitas (kajian film), hal tersebut
dapat terjadi karena keinginan besar masyarakat Perancis untuk memajukan sinema
mereka. Oleh karena itu muncul lah sekolompokan orang yang sangat mencintai
sinema, kehidupan mereka sehari-hari hanya untuk sinema, sehari-harinya mereka
datang ke Art House atau Kineforum untuk menonton film dan
mendiskusikannya, orang-orang ini diistilahkan dengan cinephille.
Dengan
adanya cinephille di Perancis, selain
munculnya Art House atau Kineforum muncul juga majalah-majalah
atau jurnal-jurnal yang membahas tentang film, salah satunya adalah Cahiers du Cinema. Seorang tokoh
pengamat film bernama Andre Bazin di salah satu edisi dari majalah Cahiers menulis sebuah artikel yang
berjudul Politique des Auteurs”
tentang definisi Auteur Theory, dia
menuliskan bahwa seorang sutradara film dapat dikatakan auteur apabila sutradara tersebut mampu memperlihatkan konsistensi
gaya (style) dan tematik didalam
film-filmnya. Oleh karena itu teori auteur
dapat dikatakan adalah sebuah teori perfilman yang memandang sutradara adalah
faktor terbesar yang menentukan kualitas dari film tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Ron
Fricke adalah seorang sinematografer, editor dan juga sutradara. Film yang dia
sutradarainya seperti Baraka (1993) dan Samsara (2011) telah memberikan nafas segar
di dunia perfilman khususnya dokumenter. Kedua film tersebut adalah film
dokumenter non-naratif dan tidak berdialog, dimana hanya memperlihatkan landscape alam, perkotaan, arsitektur
bangunan, aktifitas kehidupan, budaya, fenomena alam, dan wajah-wajah ekspresi
manusia dari berbagai macam suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia.
Gambaran-gambaran tersebut disajikan dengan teknik fotografi dan sinematografi
yang memukau, dengan didukung musik yang membangun suasana film semakin kuat.
Sebelumya
Fricke juga telah membuat Chronos (1895) yang juga memperlihatkan gambar-gambar
pemandangan dan fenomena alam. Film-filmnya merupakan pengaruh dari film
trilogi Qatsi: Koyaanisqatsi (1982), Powaqqatsi (1988) dan Naqoyatsi (2002)
karya Godfrey Reggio, dimana pengaruh tersebut juga dikarenakan Fricke menjadi
sinematografer dari salah satu film Reggio tersebut (Koyaanisqatsi).
Film-film
yang telah dibuat Fricke didalam dunia film dokumenter dikategorikan sebagai
film dokumenter post-modern atau art documentary, dimana tidak ada unsur
penceritaan didalamnya dan juga hanya memperlihatkan beauty shot (gambar indah). Namun yang menarik dari kedua film
Fricke yang berjudul Baraka dan Samsara, keduanya terdapat kesamaan tematik
film. Baraka oleh Fricke dikatakan sebagai sebuah ”a guided meditation of humanity” yang kurang lebihnya berarti
sebuah perjalanan menuju satu titik kemanusiaan tertentu dan hubungannya dengan
alam melalui meditasi yang dihasilkan oleh film, dalam mencapai titik tersebut
diperlihatkan lah berbagai fenomena alam, kehidupan, aktifitas manusia dan
perkembangan teknologi. Begitupun juga Samsara yang membawa penontonya menuju
sebuah titik yang menghubungkan manusia dan alam dengan memperlihatkan perputaran
dan ritme kehidupan.
Expanding
on themes they developed in BARAKA (1992) and CHRONOS (1985), SAMSARA explores
the wonders of our world from the mundane to the miraculous, looking into the
unfathomable reaches of man’s spirituality and the human experience. Neither a
traditional documentary nor a travelogue, SAMSARA takes the form of nonverbal,
guided meditation. Through powerful images, the film illuminates the links
between humanity and the rest of nature, showing how our life cycle mirrors the
rhythm of the planet (http://barakasamsara.com/samsara/about
diunduh tanggal 17 Juli 2014 jam 11.32).
Selain
itu dari kedua film tersebut (Baraka dan Samsara) dan juga Chronos, Ron Fricke
menggunakan gaya penyajian film (style)
yang sama dan juga mise en scene dengan berdasarkan tema film yang sama juga.
C.
Tujuan
Makalah
yang berjudul ”Auteur” ini ditujukan untuk menjelaskan definisi Auteur, mulai
dari sejarahnya sampai definisi dari para tokoh didalamnya. Serta memberikan
contoh dari salah seorang sutradara dan menentukan sutradara tersebut adalah
seorang auteur atau bukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Auteur
Berkembangnya
cinephille di Perancis dan tersedianya wadah seperti art house, kineforum dan
majalah film seperti Cahiers du Cinema
untuk mendiskusikan dan juga mengkritisi kunci penting yang menentukan
keberhasilan serta kualitas dari sebuah film. Perdebatan ini terjadi tidak
hanya di Perancis tetapi juga hampir diseluruh negara-negara yang memiliki
dunia perfilman yang kuat.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa faktor terbesar yang menentukan kualitas dari sebuah
film adalah bagaimana penulisan skenario dibuat, hal tersebut didasari dari cinema de qualite / tradition of quality filmmaking yang berarti tradisi yang
menentukan kualitas pembuatan film dimana sebuah bentuk film yang menceritakan
kisah percintaan dan sehari-hari berdasarkan atau diadaptasi dari novel abad
ke-19. Oleh karena itu penulis novel dan juga penulis naskah pada abad ke-19
adalah para penulis yang terkenal. Pendapat
tersebut dikemukakan oleh seorang tokoh yang sangat terobesesi dengan
sinema yakni Francois Truffaut, dia menulis artikel di Cahiers dengan judul “A Certain Tendency in France Cinema”
yang memfokuskan bagaimana novel diadaptasikan ke film.
In
France, critics continued to agitate at the gates of “tradition of quality”
filmmaking. Truffaut wrote, “The film of tomorrow appears to me as even more
personal than an individual and autobiographical novel, like a confession or
diary. The filmmakers will express themselves in the first person and will
relate what happened to them: it may be the story of their first love or their
most recent; of their political awakening… The film of tomorrow will be an act
of love” (Cousins 2004: 262).
Truffaut
was born in Paris, had inattentive parents, left school at fifteen and became
obsessed by cinema. He inherited some of the moral force of Brazin’s criticism,
but added new 1950s anger to it. In the same year that France suffered defeat
in Indochina, Truffaut wrote a now famous article, “A Certain tendency in
French Cinema” in Cahiers. A series of notes, the piece touched anerve by
denouncing the literary and script-driven prestige film made in his country at
that time. Although it mostly focused on the adaption of French novels to the
screen, (Cousins 2004: 254).
Namun
pendapat Truffaut dibantah oleh Jean luc Godard, menurut Godard apabila film
dibuat sama persis dengan skenarionya yang berasal dari novel maka sebaiknya
jangan menjadi filmmaker tetapi jadilah novelis. Karena film tidak bisa hanya
mengandalkan skenario, tetapi dibutuhkan campur tangan seorang sutradara karena
film dibuat dengan pengalaman dan improvisasi untuk mecapai tingkat kualitas
film dari kreatifitas sang sutradara. Hal tersebut ditulis oleh Andre Bazin di
Cahiers dalam artikel yang berjudul “Politique
des Auteurs”, oleh karena itu dapat terlihat bahwa sebenarnya faktor
terbesar yang menentukan kualitas dari sebuah film tidak hanya skenario ataupun
penulisnya akan tetapi sutradara juga menentukan kreatifitas film yang
dibuatnya (director as superstar).
Maka dari itu Bazin membagi sutradara menjadi dua macam tipe yakni metteur en scene dan auteur.
Metteur en Scene
adalah jenis sutradara yang hanya membuat film berdasarkan skenario yang telah
dibuat oleh penulis, tanpa memikirkan ciri khas yang dia miliki atau dia ingin
sampaikan kepada penontonnya sebagai seorang sutradara yang dituangkan ke dalam
film buatannya. Sutradara jenis ini didalam setiap filmnya tidak akan terlihat
ciri khas ataupun kesamaan dari gaya yang dia gunakan didalam setiap film yang
dibuatnya, oleh karena itu jenis sutradara ini adalah jenis sutradara yang
biasa saja.
Tipe
sutradara yang kedua adalah auteur,
kata auteur berasal dari bahasa
Perancis yang berarti author atau
pengarang. Sutradara auteur adalah seorang sutradara yang dapat menyampaikan
dan mengekspresikan pandangan, pemikiran dan permasalahan yang dia miliki
melalui elemen-elemen bentuk dan gaya didalam film. Seorang sutradara auteur
juga harus memperlihatkan konsistensinya dalam hal tematik dan gaya dari setiap
film yang dia buat, karena hal tersebut yang akan menjadi ciri khas dari sang
sutradara dan akan menjadi keunikan tersendiri.
B.
Ron Fricke: Chronos, Baraka dan Samsara
Ron
Fricke adalah seorang sinematografer, editor dan juga seorang sutradara.
Sebelum menjadi seorang sutradara dia telah menjadi sinematografer dan editor di
film Koyaanisqatsi (1982) sutradara Godfrey Reggio. Setelah itu dengan pengaruh
yang dibawa dari film Koyaanisqatsi, Fricke membuat film dokumenter non-naratif
dan juga tidak berdialog dengan judul Chronos (1895).
Film
Chronos memperlihatkan gambaran-gambaran pemandangan alam dan perkotaan di
berbagai negara menggunakan teknik time-lapse
photography.
Time-lapse
cinematography permits us to see sun set in seconds or a flower sprout, bud,
and bloom in a minute. For this, a very low shooting speed in required -
perhaps one frame per minute, hour, or even day
(Bordwell, Thompson, 2008:168).
Setelah
Chronos, Fricke pun membuat Baraka (1993). Film dokumenter non-naratif dan
non-verbal, memperlihatkan pemandangan alam, kehidupan, aktifitas manusia, budaya
dan fenomena-fenomenas lainnya di kurang lebihnya 24 negara di dunia ini. Sama
seperti Chronos, film Baraka disajikan dengan gambar-gambar yang memukau dengan
kebanyakan menggunakan teknik time-lapse
cinematography.
Both Baraka and Chronos were shot on 65 mm film
stock with a huge camera designed and built by Fricke himself, which, along
with a timer mechanism which rotates the camera on its tripod, is responsible
for the stunning sequences of time-lapse photography which account for much of
the film's aesthetic appeal
(Martin, Cinema Journal, Vol. 37, No.3, Juli 2009: 70)
Arti
Baraka sendiri kurang lebih berarti nafas kehidupan dari proses evolusi atau
perputaran yang terjadi di dunia ini. Tema film ini sebagaimana sudah
dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Fricke dengan film Baraka mencoba mengajak
para penontonnya melakukan sebuah perjalanan kehidupan untuk mencapat suatu
titik kemanusiaan tertentu yang hubungannya dengan alam dan segala macam isinya
di dunia ini maupun di luar dunia atau bumi yang kita singgahi sekarang ini.
Baraka menggambarkan berbagai macam ritual kehidupan dan melepaskan diri dari
apa yang dikatakan sebagai naratif atau bahkan sebuah bahasa yang diucapkan. Sebagai
sebuah bentuk film dokumenter yang beraliran art documentary Fricke berhasil menyampaikan serta mengekspresikan
apa yang dia ingin sampaikan melalui filmnya.
“Baraka”
is an ancient Sufi word that can mean the breath of the life from which the
evolutionary process unfolds. And in one sense, Baraka responds to this process
through a cinematic exploration of ritual. If we consider an authentic ritual
to be a medium for heightening our inner experience - at the very least that of
an interconnectedness, while potentially going beyond the strictly personal,
loosening our identity to time and place - then one of the thematic
undercurrents of Baraka may be “all life as ritual”
(Scher 1993: 1).
Pada
tahun 2011 Fricke mengeluarkan film yang terbarunya dengan judul Samsara,
dengan konsep perputaran kehidupan sebagaimana roda berputar. Sama seperti film
Chronos dan Baraka, Fricke tetap mengandalkan teknik time-lapse cinematography didalam film Samsara ini serta
gambar-gambar cantik yang diambil dari pemandangan maupun fenomena alam,
kehidupan, bangunan yang memiliki arsitektur khas, dan juga perkembangan sains
dan teknologi di dunia ini.
C.
Auteur of
Timelapse
Dari
ketiga film tersebut dapat terlihat dengan jelas sekali konsistensi style yang
Fricke gunakan di film-film buatannya, dimana pasti akan selalu ada time-lapse yang menggambarkan pemandangan,
fenomena alam, perkotaan, kehidupan, aktifitas manusia, arsitektur bangunan,
dan lain sebagainya. Ketika membuat timelapse, Ron Fricke menggunakan kamera Panavision
70mm miliknya dan merancang sendiri alat pergerakan kamera yang dia gunakan
untuk membuat timelapse. Oleh karena itu menurut saya Ron Fricke adalah seorang
sutradara Auteur, dimana dia juga mengangkat tema yang hampir sama di setiap
film yang dia buat dan juga tidak pernah membuat jenis film dokumenter lainnya
selain art documentary atau bahkan
film fiksi.
Hal
lainnya yang khas dari Fricke juga adalah gambar-gambar cantik dengan konsep
estetika fotografi, seperti kadang gambar sebuah batu besar di tengah padang
pasir yang tidak berarti (di film Chronos) bisa menjadi sesuatu yang indah dan
nyaman dilihat dengan kemampuan Fricke mengkomposisikan subjek yang dia
masukkan ke dalam frame.
Sebagai
seorang sutradara dokumenter yang memiliki aliran yang beberapa tahun lalu
masih belum berkembang, Ron Fricke berhasil menjadi seorang sutradara auteur
yang memiliki karakter atau ciri khasi di setiap film yang dia buat,
diantaranya:
-
Tema film
tentang kehidupan, fenomena alam, aktifitas manusia, ritual, budaya, dan
teknologi.
-
Gambar-gambar
indah dengan estetika fotografi yang sangat kuat.
-
Film-film dokumenter
yang non-naratif dan non-verbal.
-
Menggunakan
teknik time-lapse cinematograpy
hampir diseluruh filmnya.
-
Menggunakan film
70mm dan mencetaknya (print) ke dalam resolusi tinggi (4K - 6K).
-
Merancang
peralatan pergerakan kamera yang dia gunakan didalam filmnya.
-
Musik-musik
didalam film sangat bagus dan dapat membangun suasana film semakin dalam.
BAB III
KESIMPULAN
Film-film
yang dibuat oleh seorang sutradara auteur pasti akan memiliki ciri khas atau
karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki sutradara lainnya. Hal tersebut
menyangkut visi dan misi sang sutradara yang konsisten atau tidak ketika akan
menyampaikan ataupun mengekspresikan pemikiran, pandangan, dan permasalahan
yang tertuang didalam elemen-elemen visual di film yang dia buat. Elemen-elemen
tersebut adalah tematik dan gaya (style)
khususnya mise en scene. Apabila sutradara tersebut sudah memiliki ciri khas,
maka dari ciri khas tersebut walaupun di setiap filmnya memiliki kesamaan
tematik maupun gaya, tetapi pasti kesamaan tema dan gaya tersebut akan
meningkat seiring berjalannya waktu. Karena ketika kita fokus akan suatu hal,
lama kelamaan kita akan semakin mahir dan akan semakin kreatif dalam memainkan
hal tersebut menjadi lebih bernilai kreatif.
Seperti
yang telah dijelaskan didalam makalah ini, sesosok sutradara Ron Fricke yang
selalu menyampaikan tema kehidupan dan fenomena alam didalam setiap filmnya.
Saat di film Chronos, tema film hanya sebatas gambaran pemandangan alam dan
perkotaaan di berbagai negara menggunakan time-lapse.
Tetapi film selanjutnya yakni Baraka, tema yang diangkat semakin kompleks yakni
tentang perjalanan kehidupan untuk mencapai suatu titik tertentu yang
hubungannya dengan alam melalui ritual dan meditasi. Film Samsara lebih
menekankan konsep perputaran didalam kehidupan yang bagaikan roda yang
berputar. Dari setiap filmnya Fricke mencoba mengembangkan tema dan penyajian
filmnya semakin baik, tetapi masih konsisten dengan tema apa yang dia angkat.
Oleh
karena itu kesimpulan singkatnya, untuk menjadi seorang sutradara kita tidak
hanya membuat cerita atau mengambil cerita lalu membuatnya menjadi film. Tetapi
sorang sutradara harus memiliki kreatifitas untuk mengembangkan cerita yang
sudah dibuat dan mengolahnya berdasarkan ciri khas yang dia miliki.
Daftar Pustaka
Bordwell, David., dan Kristin Thompson. 2008. Film Art an Introduction. New York :
McGraw-Hill
Cousins, Mark.
2004. The Story of Film. England and
Spain: Pavillion Books
Roberts, Martin. 2009.
“Baraka: World Cinema and the Global,” Cinema Journal Vol. 37, No.3, Juli 2009.
Texas: University of Texas Press on behalf to the Society for Cinema &
Media Studies
Scher, Bob. 1993. ”Baraka:
Film as Meditation,” http://www.bob scher.com/Baraka
No comments
Post a Comment