Oleh: Ayu Sutarto (Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur)
Pendahuluan
Secara administratif orang Using (Osing) bertempat
tinggal di Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur.
Beberapa abad yang lalu, wilayah
yang
sekarang
dikenal
sebagai Kabupaten
Banyuwangi ini merupakan wilayah utama Kerajaan Blambangan. Wilayah
pemukiman orang Using makin lama makin
mengecil,
dan jumlah desa
yang bersikukuh mempertahankan adat-istiadat Using
juga
makin berkurang.
Dari 21 kecamatan
di Kabupaten Banyuwangi,
tercatat tinggal 9 kecamatan saja yang diduga
masih menjadi kantong kebudayaan Using. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).
Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan
stereotipe.
Begitu pula halnya dengan
identitas budaya Using.
Orang Using diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3). Di samping citra negatif tersebut, orang Using juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3)
sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).
Orang Using dikenal
sangat
kaya
akan produk-produk
kesenian.
Dalam masyarakat Using, kesenian tradisional masih tetap terjaga kelestariannya, meskipun ada
beberapa
yang
hampir punah.
Kesenian
pada masyarakat
Using merupakan produk adat
yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian di
bidang
pertanian. Laku hidup masyarakat
Using yang
masih
menjaga adat serta pemahaman mereka
terhadap pentingnya
kesenian sebagai ungkapan
syukur
dan kegembiraan masyarakat
petani telah
menjadikan
kesenian
Using tetap terjaga hingga sekarang. Tulisan ini akan memaparkan produk-produk kesenian Using yang hingga sekarang
masih memiliki pendukung
yang kuat.
Produk-produk Kesenian Masyarakat Using
A. Seni Tari
1. Gandrung
Gandrung adalah seni tari khas masyarakat Using yang sekarang menjadi
maskot Kabupaten Banyuwangi. Seorang penari gandrung identik dengan perempuan yang bergulu menjangan berkaki kijang, yang berarti lincah bagai rusa dan memiliki
suara yang merdu.
Struktur pementasan gandrung meliputi jejer, paju, dan seblang- seblang. Musik iringan gending jejer yang semula rancak berganti menjadi lembut
dan penari melantunkan gending Padha Nonton sebagai lagu wajib pembuka.
Gandrung merupakan
salah satu jenis kesenian
tradisional
Using
yang keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung ialah terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam dan bersuara
rancak bersahut-sahutan. Dalam pertunjukan gandrung seorang penari gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada pula yang bernuansa asmara.
2. Seblang
Seni
tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk
mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Jenis seni tari yang hanya terdapat
di Desa
Olehsari dan Bakungan,
Kecamatan Galagah,
Kabupaten Banyuwangi ini diperkirakan sebagai
peninggalan
kebudayaan pra-Hindu yang sampai sekarang masih hidup dan tetap dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan
oleh seseorang dalam keadaan kejiman atau tidak sadarkan diri (intrance) karena kerasukan
atau keserupan roh halus, roh leluhur, atau Hyang. Tarian ini merupakan sarana pemujaan terhadap roh halus, baik roh yang
bersifat baik maupun
yang tidak
baik.
Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada
tari seblang merupakan gerakan
tarian roh
yang
merasuk
ke wadah
penari. Ciri-ciri gerakannya yiatu dilakukan dengan ritme yang monoton.
Pementasan seni tari
ini hanya dilaksanakan
sekali dalam
setahun, yaitu setiap tanggal 1 Suro bertepatan dengan dilaksanakannya upacara bersih desa atau selamatan desa. Bila
pementasan
tari
seblang
tidak diadakan
diramalkan akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat desa Olehsari. Atas petunjuk roh halus, pada saat ini pementasan tari seblang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Syawal, yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Pementasan tari Seblang dimulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 16.00 selama satu minggu.
3. Barong
Kesenian barong merupakan teater rakyat yang memadukan unsur tari, musik,
dan
lagu serta cerita yang telah baku dan turun-temurun. Pada awalnya, seni ini
merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada
saat-saat
tertentu, misalnya
pada saat upacara bersih
desa
yang diselenggarakan pada minggu
pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya.
Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using,
baik yang menyangkut musik,
tari, dialog,
maupun
ceritanya. Di
Kabupaten
Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren, Mandalikan, Mangli,
dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni barong Kemiren
saja yang masih utuh “keUsingannya” dan sering melakukan pementasan.
Seni Barong di
desa Kemiren
diciptakan
oleh Eyang Buyut Tompo pada sekitar 1830-an.
Pada saat
itu
di desa Kemiren
ada
pertunjukan Seblang
yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut
Tompo agar pementasan seblang dipindah
ke desa Ole-Olean (Olehsari), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang
harus
dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat desa
Kemiren tidak diperkenankan
mementaskan
seblang,
dan sebaliknya
masyarakat
Olehsari tidak
boleh mementaskan barong. Seni
Barong
yang
diciptakan
Buyut Tompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh
yang dimitoskan
dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya
setiap
pementasan,
yakni
tatkala barong
mengalami
kesurupan
yang masuk adalah Buyut Cili.
4. Hadrah Kuntulan
Kesenian
hadrah kuntulan lahir
tidak terlepas dari sejarah
perkembangan
Islam di Banyuwangi. Sebelumnya, hadrah kuntulan ini bernama seni
hadrah barjanji.
Menurut
beberapa seniman
kuntulan
berasal dari kuntul,
nama sejenis unggas berbulu putih,
yang
selanjutnya warna
putih ini dijadikan
sebagai warna
busana yang dipakai para pemainnya.
Sementara itu, beberapa seniman yang lainnya seperti Hasan Singodimayan, Andang
CJ, dan Sudibjo Aries berpendapat
bahwa
nama kuntulan secara etimologis
berasal
dari
kata arab
kuntubil yang artinya terselenggara pada malam hari. Kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri setelah belajar
mengaji, yaitu
untuk melepaskan rasa
jenuh pada
malam
hari mereka mengadakan
kegiatan
dengan melontarkan
pujian-pujian yang berbentuk syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton.
Pementasan seni hadrah kuntulan berupa tarian rodat (penari laki-laki) yang diiringi dengan rebana ditingkahi vokal barjanjen atau asrokal.
Pada awal kelahirannya, di saat pementasan semua penarinya adalah laki-laki karena masyarakat menganggap tabu dan melanggar ajaran agama Islam jika tarian tersebut
diperagakan oleh perempuan.
Gerakan yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu gerakan yang menggambarkan orang
shalat, wudu’ dan adzan. Dalam perkembangan
selanjutnya, seni hadrah kuntulan mengalami
berbagai pernyempurnaan, baik dalam instrumen musik, tarian, busana, maupun penampilan
wanita dalam pementasan.
5. Padhang Ulan
Masyarakat Banyuwangi
mempunyai
sifat ceria,
baik
dalam permainan maupun dalam kesenian. Ketika bulan purnama (padhang ulan) antara tanggal 13–17 bulan Jawa, kaum muda mengadakan permainan di perkampungan-perkampungan maupun di pantai, baik secara berkelompok maupun berpasangan. Pada saat seperti ini dimanfaatkan
untuk
bersenang-senang saja
atau untuk
mencari jodoh.
Situasi seperti inilah yang akhirnya memberikan inspirasi kepada para seniman Banyuwangi untuk menciptakan lagu-lagu, gending, dan tari padhang ulan (terang bulan). Sesuai
dengan situasi yang melatarbelakanginya, maka tari padhang ulang mempunyai ciri khas lincah, gembira, dan agak erotis.
6. Sabuk Mangir
Tari sabuk mangir memiliki latar belakang yang bersifat magis. Istilah sabuk
mangir merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu sabuk berarti ikat pinggang dan mangir nama sebuah desa di Rogojampi. Sabuk mangir terkenal sebagai sabuk sakti
orang
Mangir. Berdasarkan kepercayaan
bahwa ada
kekuatan gaib yang
berada dalam sabuk tersebut, orang Mangir berusaha melawan musuh-musuhnya, baik yang musuh yang fisik maupun non-fisik.
7. Puputan Bayu
Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC). Sayuwiwit mengorganisir
para
pemudi di zamannya
dalam sebuah
pasukan wanita yang disegani kawan
maupun
lawan.
Pasukan wanita
yang
dipimpin oleh
srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan. Perang
puputan adalah perang habis-habisan yang menimbulkan banyak korban, baik di pihak lawan maupun di pihak Sayuwiwit. Perang puputan di desa Bayu inilah yang
menjadi inspirasi terciptanya tari
puputan bayu.
8. Pupus Widuri
Pupus
widuri terdiri dari
dua
kata yang
berasal
dari
bahasa Using,
yaitu
pupus yang berarti daun muda dan widuri adalah nama sejenis makhluk cantik atau
bidadari.
Jadi, makna kata
pupus
widuri
adalah
gadis muda yang
sangat
cantik
seperti bidadari. Oleh
karena itu, tarian ini dilakukan oleh seorang gadis yang baru menanjak remaja. Tari pupus widuri merupakan gabungan dari beberapa gerak tari tradisional Banyuwangi, seperti tari seblang, tari gandrung, tari gridhoan, dan tari ngarak penganten. Gerakan
tari-tarian
tersebut digabung dan
dikonstruksikan
sedemikian rupa sehingga menjadi suatu gerak yang harmonis dan bisa membuat penonton terpesona, baik oleh gerakan
maupun kecantikan penarinya.
9. Keter Wadon
Keter wadon adalah sebuah tari yang diilhami oleh kegiatan burung-burung pipit
yang lincah, bebas berkeliaran di udara, mencari makan di mana-mana tanpa ada yang menghalangi, kecuali si anak nakal. Mereka beterbangan di udara, hinggap
di atas
pohon, bermain
di
telaga bening, berjemur di panas
matahari
sambil bercengkerama. Namun, malang karena seekor dari mereka jatuh dipanah, disumpit atau ditembak oleh seseorang yang jahil sehingga ia ditinggal pergi oleh teman-
temannya yang lari ketakutan dan mencari dunia yang lebih bebas dan aman.
10. Walang Kadung
Tari walang kadung adalah salah satu seni tradisional daerah Banyuwangi yang penciptaannya berdasarkan pengalaman atau pengamatan terhadap kehidupan walang kadung di pohon-pohon atau dedaunan. Walang kadung merupakan jenis serangga yang biasa
hidup di daun-daun muda pohon jambu kluthuk (jambu batu). Jika diperhatikan, gerakan
binatang ini
sangat menarik,
terutama
pada kaki depannya,
kaki
belakang yang panjang tidak pernah diam, kepalanya yang tidak pernah tunduk, serta matanya yang selalu terbelalak.
11. Jaranan Buto
Kesenian
jaranan buto berasal
dari
desa Cemetuk Kecamatan Cluring,
Kabupaten Banyuwangi. Istilah jaranan buto mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa). Instrumen musik jaranan buta terdiri atas seperangkat
gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas
yang terbuat dari lempengan
tembaga), dan 2
kendang.
Sebagai isntrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda raksasa yang terbuat
dari
anyaman bambu.
Wajah raksasa didominasi
warna merah
menyala,
dengan kedua matanya yang besar sedang melotot. Dalam pementasannya masih dilengkapi dengan tiga jenis topeng buto (raksasa), celengan (babi hutan) dan kucingan (kucing) yang kesemuanya terbuat dari kulit. Topeng-topeng ini ini harus digunakan secara bergantian
oleh para pemainnya, baik pemain laki-laki maupun pemain perempuan.
12. Campursari
Kesenian campursari disebut juga mocoan pacul gowang (seni baca naskah), yang merupakan lahirnya seni pertunjukan yang kemudian dinamai seni campurcari. Pementasan diawali dengan mocoan pacul gowang berupa pembacaan naskah lontar berbahasa
Jawa Kuna dan Jawa
Pertengahan
yang
berisi riwayat Nabi
Yusuf. Pembacaan naksah lontar
ini dilakukan secara ritmis, dan tunduk terhadap aturan panjang pendek
vokal
(guru
lagu), pupuh atau bait
nama
tembang
(syair)
yang dilagukan.
Pada
umumnya pupuh yang digunakan adalah pupuh macapat
yang
berasal dari tradisi
Jawa, seperti
Dandanggula, Kinanti,
Pucung,
Sinom,
dan Asmaradana. Seusai pembacaan naskah
lontar, acara dilanjutkan dengan
atraksi
penampilan jenis kesenian
lain seperti,
kuntulan,
janger, gandrung, rengganis,
jinggoan, tarian daerah, kendang kempul,
lawak, dan
dangdutan. Satu
genre kesenian yang tidak masuk dalam paket campur sari adalah barongan.
B. Seni Musik
1. Kendang Kempul
Kesenian kendang
kempul
yang
pada awalnya disebut
kendang
gong merupakan seni musik yang tumbuh bekembang dari tradisi seni gandrung dengan
sentuhan-sentuhan modifikasi perpaduan dengan irama musik dangdut. Dalam hal penggunaan alat musik, selain menggunakan istrumen musik tradisional yang terdiri
dari gamelan kempul (biasanya 2 buah), kendang banyuwangen (2 buah, besar dan kecil), dan gong (sekarang tidak dipakai), seni kendang kempul ini juga menggunakan instrumen musik
modern.yang
terdiri
dari
organ (keyboard
atau
syntheziser), gitar (lead
maupun melodi), bass elektrik, dan seruling.
Lagu-lagu
kendang
kempul yang sudah terkenal antara lain, Gelang Alit (ciptaan Andang Cs),
Kantru-kantru (“tercengang-cengang”, digubah
dari
lagu gandrung sekitar
tahun 1976), Kembang Pethetan (lagu kendang kempul pertama). Selain lagu-lagu tersebut masih banyak lagi lagu-lagu lainnya, seperti yang dicipta oleh Sanusi, di antaranya yaitu Ibadah Haji, Lare Yatim, Payung, Godhong,
Kwade, Gelang Alit, Tanah Kelahiran, Kembang Galengan, dan lain sebagainya.
2. Angklung Caruk
Seni angklung caruk berasal dari jenis kesenian legong Bali. Pengertian caruk
di sini mengacu pada arti lomba, tanding, atau duel meet, yang dalam pementasan
dipertandingkan sekurang-kurangnya dua group
seni angklung
caruk untuk
memperebutkan gelar sebagai group kesenian yang terbaik. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik.
Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang
biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis-jenis tarian tersebut antara lain tari
jangeran, tari
gandrungan,
cakilan, tari
kuntulan,
dan tari
daerah
blambangan.
Instrumen musik
angklung caruk
terdiri dari
seperangkat angklung
(dua unit angklung), kendang (dua buah), slenthem (dua buah), saron (dua buah), peking (dua buah), kethuk (dua buah), dan gong (dua buah).
3. Angklung Daerah
Seni angklung tumbuh dari tradisi masyarakat agraris, yakni menggunakan bunyi kotekan dari bambu yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengusir burung
di sawah ketika musim padi. Setelah melalui beberapa tahap penyempurnaan dan
penambahan
instrumen, akhirnya jenis
seni
musik
ini
disebut
sebagai
angklung
daerah serta bisa dipakai untuk
mengiringi lagu dan tari. Jenis angklung daerah:
1. angklung paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak (gubuk kecil)
di tengah sawah.
2. angklung caruk, pementasan dua grup angklung yang
dilaksanakan di atas panggung untuk
menunjukkan kemampuan dan
keterampilan masing- masing.
3. angklung tetak,
pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.
4. angklung dwi laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak.
Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan
komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
5. angklung Blambangan, pengembangan
terakhir angklung di
daerah
Banyuwangi.
Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan
Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya). Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari
angklung (2 set/unit) saron (4 rancak @ 10 buah anak saron), peking (2 rancak), slenthem (2 rancak),
kethuk (2 biji), gong (2 rancak), gendang (2 rancak), biola, seruling, dan
terompet. Dalam seni angklung daerah diperlukan
10
orang
untuk
memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 – 25 orang pemain.
C. Seni Teater Tradisional
1. Jinggoan
Istilah lain dari seni
jinggoan adalah seni janger dan Damarwulan. Masyarakat Using lebih suka menggunakan istilah jinggoan yang diambil dari nama tokoh
Prabu
Minakjinggo
sebagai pahlawan mereka, sedangkan
nama janger dikaitkan dengan
dominasi pengaruh unsur Bali pada gamelan, tari, dan tatabusana
sebagai akibat terjadinya
kontak budaya. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
Krama. Ini menandakan
kepandaian
orang Using dalam melakukan
adaptasi terhadap pengaruh budaya
dari luar. Unsur-unsur Banyuwangi yang masuk ke dalam kesenian ini antara lain seni angklung dan lagu-lagu Banyuwangen.
Dilihat dari
bentuk ceritanya, kesenian
janger
merupakan
pengambilan bentuk kesenian langendriyan (ande-ande lumut) yang berasal dari Keraton Mataram
Islam di Jogjakarta. Kesenian langendriyan ini pada akhirnya di daerah Banyuwangi berkembang
menjadi bentuk dramatari yang dikenal
dengan
nama Damarwulan. Cerita yang yang sering dipentaskan adalah cerita Bali yaitu Calon Arang, Agung
Jelantik, Sastra Dewa. Sedangkan cerita asli Banyuwangi adalah Sayu Wiwit, Wong
Agung Wilis (Minakjinggonya), dan Prabu Tawang Alun. Saat ini, ceritanya tidak lagi
terikat oleh cerita kepahlawanan Damarwulan ataupun Minakjinggo (misalnya lakon Minakjinggo Diwisudo), tetapi
dapat pula bercerita tentang kepahlawanan tokoh-tokoh kerajaan Jawa masa lampau, seperti Geger Tuban, Pangeran Wilis, dan Geger Majapahit,
Babad
Singosari,
Babad Pajang,
Babad Mataram, dan
cerita wayang
(seperti lakon Kresno Duta, Kongso Adu Jago, dan lain-lain).
Kesenian janger atau jinggoan ini merupakan kesenian yang lengkap, yaitu terdiri dari seni tari, seni drama, seni suara, seni lawak, dan seni lukis atau dekorasi.
Dalam pertunjukkannya, kesenian ini sangat komunikatif. Hal ini bisa dilihat ketika
penonton mengajukan permintaan kepada para pemain, terutama
pelawak
untuk membawakan lagu-lagu populer, tembang Jawa atau Banyuwangen, gending, pantun, atau tarian.
2. Praburoro
Praburoro berasal dari dua kata, yakni prabu yang berarti raja dan roro atau rara yang berarti perempuan. Jadi, praburoro berarti raja perempuan atau ratu (Jw. ratu wedok). Kesenian praburoro merupakan satu jenis seni dramatari dengan lakon yang dipentasakan
bersumber pada Serat Menak yang bertolak dari hikayat Negeri Persia. Tokoh-tokoh dari seni
dramatari
ini antara lain
Rengganis, Umar
Moyo, Lamtanus, dan Suwongso.
Pusat cerita terletak
pada tokoh Dewi Rengganis (seorang ratu,
istri Suwongso, putra
Jayengrono dari kerajaan
Guparman)
sehingga seni drama ini disebut praburoro yang berarti “ratu perempuan”. Diceritakan bahwa Dewi
Rengganis
adalah seorang perempuan yang tidak dapat
digauli
oleh laki-laki, termasuk
suaminya.
Rahasia ini
diketahui oleh Umar
Moyo
sehingga Dewi
Rengganis merasa sangat malu. Oleh karena
itu, ia
kemudian
melarikan diri
ke
wilayah Nusantara. Di tanah Jawa ia mendirikan kerajaan dan sekaligus menjadi ratu.
Secara umum praburoro mengisahkan proses masuknya agama Islam ke tanah
Jawa. Sebelum Islam masuk, di tanah Jawa sudah memiliki budaya Hindu. Salah satu seni
budaya Hindu
itu adalah
wayang yang alur
cerianya bersumber pada
epos Ramayana dan Mahabarata, demikian pula tokoh-tokohnya.
Dalam seni drama
praburoro terdapat kurang lebih 21 cerita, yaitu Imam Sejati, Umar Seketi, Menak Sopo Nyono, Mali Bari, Bedhahing Bangit, Praburoro, Putri Cino, Rengganis,
Dandang Wincono, Umar Moyo
Kembar, Umar Mantu,
Subroto Kromo, Maktel
Kembar, Subroto Rante, Cinde Kembang, Prabu Bantarangi,
Joko Lelono, Suwongo
Gugat, Angin Suseno, Samirono Sekso, dan Kusumo Maling.
Penutup
Masyarakat Using bukan hanya ulet dan
mahir dalam bercocok tanam melainkan
juga piawai dalam berkesenian. Eksistensinya bukan
hanya membuat Kabupaten Banyuwangi menjadi gudang pangan, melainkan juga gudang produk-
produk kesenian tradisional yang menjadi kebanggaan Provinsi Jawa Timur. Produk-
produk kebudayaan Using memiliki peranan strategis, baik yang bermuatan kultural maupun ekonomi.
Jika dikelola, dibina, dan dimanfaatkan dengan
baik,
produk- produk
kebudayaan Using
dapat memberi kontribusi yang
berarti bagi
baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.
Orang Using dikenal
sebagai sosok
yang
adaptif,
egaliter, terbuka, dan mencintai kesenian. Produk-produk kesenian Using bukan hanya menghibur tetapi juga banyak mengandung nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang
merugikan. Banyak sekali pesan-pesan mulia
yang terkandung dalam syair-
syair baik yang dilantunkan dalam kendang kempul maupun hadrah kuntulan Using dan
dalam seni tari tradisional Using, seperti
Gandrung dan
Seblang.
Jelasnya,
produk budaya Using memiliki
dua warna, yaitu produk budaya yang bercitra agraris dan
produk yang bercitra patriotik.
Orang Using, meskipun menjadi pemeluk agama
Islam,
telah memelihara tradisinya dengan
baik
dan tidak
mempertentangkan nilai agama
dengan tradisi. Dalam
masyarakat Using,
agama dan
tradisi saling mengisi:
agama
seringkali sebagai kekuatan
yang
lebih
dominan mewarnai tradisi. Akibatnya, tidak sedikit
unsur-unsur agama maupun kepentingan agama mewarnai produk kesenian Using.
Produk-produk kesenian Using
yang bercitra agraris dapat dimanfaatkan sebagai perekat dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra
patriotik dapat dimanfaatkan untuk membangun nasionalisme.
No comments
Post a Comment