Ludruk merupakan
salah satu bentuk kesenian atau teater rakyat masyarakat Jawa Timur khususnya
Surabaya yang di dalamnya tercermin karakteristik masyarakat Jawa Timur itu
sendiri. Keindahan, kebaikan maupun kebenaran yang dirasakan oleh masyarakat
Jawa Timur teraplikasikan dalam kesenian Ludruk. Teori klasik/neo klasik sejak
zamannya Plato, Aristoteles, Sokrates memberikan pengertian bahwa kesenian
adalah suatu bentuk usaha untuk menyalin alam ke dalam berbagai macam bentuk
dan dalam hal ini adalah usaha masyarakat Jawa Timur untuk menyalinnya ke dalam
bentuk kesenian Ludruk. Berbagai aspek yang terefleksi dalam kesenian Ludruk
berupa nilai-nilai yang dianut masyarakat tersebut, simbolisasi kritik sosial
terhadap situasi dan kondisi sosial dan juga penggambaran rasa cinta, kasih
sayang dan keindahan yang terdapat di dalam masyarakat Jawa Timur. Dari hal
tersebut juga terlihat peranan hubungan antara masyarakat dan seni, dimana
masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat Jawa Timur adalah sumber dari
kesenian Ludruk. Sementara kesenian Ludruk adalah hasil dari perkembangan
peradaban masyarakat Jawa Timur dan melalui hasil tersebut Ludruk menjadi
berkembang di masyarakat dan sekaligus menjadi simbol dari nilai-nilai yang ada
di masyarakat Jawa Timur.
Friday, January 11, 2013
Analisis Pertunjukan Wayang Golek Sebagai Media Seni yang Bersifat Multimedia
Wayang merupakan salah satu bentuk seni
pertunjukan yang pada dasarnya bersifat sesaat, artinya waktu dan ruang yang
digunakan ketika seni itu diperlihatkan, didengarkan, diperagakan hanya
bersifat sementara. Tapi seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman juga
kesenian wayang dapat dikategorikan sebagai seni multimedia, karena di dalam
pertunjukan wayang seluruh jenis kesenian dapat dimasukkan seperti seni rupa,
seni gerak dan seni suara.
Wayang
golek dari Sunda merupakan salah satu bentuk seni multimedia, selain
jenis-jenis wayang lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya
disekitar Sunda, Jawa dan Bali. Wayang golek merupakan salah satu kesenian yang
memiliki keunikan tersendiri. Sebagai perbandingan, bentuk sajian wayang kulit
Jawa selalu menggunakan kelir yang
fungsinya untuk memproyeksikan bayangan dari bentuk wayang tersebut hal ini
sesuai dengan asal kata wayang yang konon berasal dari ’bayang’ dan penonton
menikmati pertunjukan melalui bayangan tersebut (pada perkembangannya penonton
wayang kulit tidak menikmati pertunjukkan melalui proyeksi bayangan lagi).
Sementara pada wayang golek penonton langsung menyaksikan bentuk rupa wayang
golek tersebut yang terbuat dari kayu tanpa ada proyeksi bayangan seperti pada
wayang kulit. Dari hal tersebut dapat dilihat jenis kesenian yang ditampilkan
oleh kesenian wayang baik itu wayang golek maupun kulit yakni seni rupa atau
visual.
Sama
seperti wayang kulit Jawa, wayang golek Sunda juga dimainkan oleh seorang
dalang yang perannya sebagai pemimpin jalannya pertunjukan. Unsur gerak dapat
terlihat dari permainan antara sang dalang dengan wayang, saat wayang dan
dalangnya berakting, bertingkah laku bahkan menari di atas pentas. Unsur suara
dapat ditemukan juga saat sang dalang melagukan suluk (semacam syair yang ditembangkan) dan menyuarakan antawacana (dialog antar tokoh wayang).
Selain itu unsur suara dalam bentuk musik juga dapat ditemukan pada permainan
gamelan Sunda yang mengiringi jalannya sajian pertunjukan wayang golek.
Wednesday, January 2, 2013
Sekilas Tentang Masyarakat Using
Oleh: Ayu Sutarto (Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur)
Pendahuluan
Secara administratif orang Using (Osing) bertempat
tinggal di Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur.
Beberapa abad yang lalu, wilayah
yang
sekarang
dikenal
sebagai Kabupaten
Banyuwangi ini merupakan wilayah utama Kerajaan Blambangan. Wilayah
pemukiman orang Using makin lama makin
mengecil,
dan jumlah desa
yang bersikukuh mempertahankan adat-istiadat Using
juga
makin berkurang.
Dari 21 kecamatan
di Kabupaten Banyuwangi,
tercatat tinggal 9 kecamatan saja yang diduga
masih menjadi kantong kebudayaan Using. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).
Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan
stereotipe.
Begitu pula halnya dengan
identitas budaya Using.
Orang Using diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3). Di samping citra negatif tersebut, orang Using juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3)
sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).
Orang Using dikenal
sangat
kaya
akan produk-produk
kesenian.
Dalam masyarakat Using, kesenian tradisional masih tetap terjaga kelestariannya, meskipun ada
beberapa
yang
hampir punah.
Kesenian
pada masyarakat
Using merupakan produk adat
yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian di
bidang
pertanian. Laku hidup masyarakat
Using yang
masih
menjaga adat serta pemahaman mereka
terhadap pentingnya
kesenian sebagai ungkapan
syukur
dan kegembiraan masyarakat
petani telah
menjadikan
kesenian
Using tetap terjaga hingga sekarang. Tulisan ini akan memaparkan produk-produk kesenian Using yang hingga sekarang
masih memiliki pendukung
yang kuat.
Subscribe to:
Posts (Atom)