Wednesday, December 26, 2012

Tolak Bala’ : Peribadatan Inti Orang Melayu


oleh Isa Ansari, S.Ag., M.Hum
dirangkum kembali oleh Rasyadan Muhammad (12112117)

Pengantar
Bagi aliran kognitif (cognitive anthropology) kebudayaan dipahami dalam dua strategi sebagaimana yang dikemukakan oleh Kutowijoyo, pertama, kebudayaan dipahami dari luar ke dalam dimana keterkaitan antara lingkungan fisik dengan sistem sosial dan berpengaruh pada sistem simbol. Kedua, kebudayaan dipahami dari dalam keluar artinya sistem nilai berpengaruh pada sistem simbol dan pada akhirnya akan berpengaruh pada sistem sosial masyarakatnya. Pendapat tersebut tidak jauh beda dengan apa yang dikemukakan oleh Greetz yang membagi dua pola dalam kebudayaan, yakni model of (model dari) dalam bentuk etika tingkah laku dan model for (model untuk) yang terkait dengan aspek-aspek pendukung untuk bertindak dan bertingkah laku seperti nilai, aturan-aturan, resep-resep, petunjuk-petunjuk dan lain sebagainya.
Dari kedua pendapat tersebut ada hal menarik bahwa keduanya selalu berusaha untuk menemukan inti (core) dari suatu sistem kebudayaan. Inti dari sistem kebudayaan inilah yang menjadi titik pusat dari fenomena kebudayaan suatu masyarakat. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa core dari budaya bukanlah representasi (perwakilan) dari suatu sistem budaya, namun dia yang menjadi pusat atau sentra suatu sistem budaya.

Orang Melayu dan Ritual Tolak Bala’
Sistem budaya orang Melayu sangak lekat dengan Islam, dan salah satu core dari peribadatan orang Melayu adalah tolak bala’. Ada beberapa hal yang melatar belakangi bahwa core peribadatan orang Melayu adalah tolak bala’, pertama, fakta bahwa orang Melayu dalam kehidupan sehari-harinya selalu berusaha menghindar dari bala’. Kedua, praktik peribadatan orang Melayu yang bertujuan untuk menjauhi bala’. Ketiga, sistem sosial orang Melayu yang dalam ritual tolak bala’ dapat ditemukan struktur sosial yang terkait dengan penempatan undangan yang hadir dalam ritual tersebut berdasarkan pada status sosial.
Berangkat dari fakta bahwa orang Melayu dalam kehidupan sehari-harinya selalu berusaha menghindar dari bala’, untuk mentralisir atau menolak hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan membacakan doa tolak bala’ terutama gangguan yang bersifat pribadi (personal). Sedangkan jika persoalan atau bala’ tersebut bersifat komunal atau umum maka tolak bala’ dilakukan dengan upacara.

Tuesday, December 18, 2012

Gamelan Kodok Ngorek - oleh Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul “Bothekan Karawitan I”


oleh Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul “Bothekan Karawitan I”

Gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh beberapa keraton (juga beberapa kadipaten, termasuk di luar Surakarta dan Yogyakarta) saja. Perorangan, masyarakat umum, dan lembaga di luar keratin tidak dibenarkan memiliki perangkat gamelan jenis ini. Gamelan dan gendhing Kodok Ngorek oleh masyarakat umum hampir selalu dihubungkan dengan hajatan atau peristiwa pernikahan. Belum diketahui mengapa gamelan ini disebut Kodok Ngorek. Suara gamelan ini tidak mirip dengan suara kodhok (katak) yang sedang ngorek (menyanyi, berbunyi).

Sampai sekarang, banyak anggota masyarakat Jawa yang menggunakan, gendhingnya (walaupun ditabuh pada perangkat gamelan biasa atau perangkat gamelan ageng, bukan perangkat gamelan Kodok Ngorek) pada saat temanten temu, sebuah upacara tradisi pernikahan Jawa dimana mempelai pria dan wanita secara resmi dipertemukan di hadapan para tamu (sebagai saksi) dalam sebuah upacara adat pernikahan yang disebut panggih (artinya temu atau jumpa), satu rangkaian upacara yang terdiri dari berbagai kegiatan dengan berbagai asesorisnya yang khas dan simbolik.
Sebenarnya gamelan Kodok Ngorek di keratin tidak hanya digunakan sebagai kelengkapan dari upacara pernikahan saja, ia juga hadir dalam berbagai upacara, contoh seperti pada grebeg Puasa, grebeg Maulud dan grebeg besar (grebeg bulan haji, Dzulhijah). Kodok ngorek ditabuh menyertai prosesi gunungan (sepasang tumpeng nasi yang sangat besar dilengkapi dengan lauk-pauknya yang berupa sayur-sayuran dan hasil-hasil pertanian) dari keratin menuju ke masjid besar melalui sitinggil, tempat dimana biasanya gamelan Kodok Ngorek dan lainya disimpan, digelar dan ditabuh.
Gamelan Kodok Ngorek juga ditabuh pada saat ada peristiwa kekeluargaan kerabat raja. Ia ditabuh dan difungsikan sebagai tengara, wara-wara atau pengumuman, tanda atau berita tentang adanya kelahiran bayi (atau juga kematian keluarga raja) perempuan. Kodok Ngorek dengan demikian sering diasosiasikan dengan sifat kefeminiman. Dapat diduga dan dapat dimengerti bila kemudian kita mencoba untuk menghubungkannya dengan karakter bunyi atau karakter satu-satunya repertoar gendhing yang dimilikinya (gendhing Kodok Ngorek) yang relative halus dan feminism. Hal ini mungkin menjadi lebih jelas lagi ketika kita mencoba untuk membandingkan karakter suara/gendhing gamelan Kodok Ngorek ini dengan karakter bunyi/gendhing perangkat gamelan pakurmatan lainnya yang sejenis, yaitu perangkat gamelan Monggang yang relative lebih keras dan maskulin.

Perkembangan Gamelan Bali - oleh I Wayan Madra Aryasa (Pentas Seni 1974)


Sifat gamelan Bali yang sosial dan religius wajarlah jika perkembangannya berhubungan dengan kegiatan umat beragama (Hindu) dalam pelaksanaan upacara-upacara suci ataupun aktivitas adatnya.

Hubungan dengan kehidupan adat Bali
Tiap desa di Bali terdiri dari banjar-banjar. Tiap desa memiliki alat-alat gamelan, malah hampir setiap banjar ada alat gamelannya.
Dalam hubungan ini desa adat di Bali memegang urusan-urusan penting terhadap kehidupan adat itu sendiri. Anggota banjar bertanggung jawab melaksanakan awig-awig banjarnya. Banjar-banjar bertanggung jawab pada desa adatnya sehingga di sini terkenal system hidup ”suka-duka” dan ”karma/sima” yang selalu menjiwai arti hubungan-hubungan itu. ”Suka” yang berarti menerima keselamatan dan ”Duka” berarti menerima halangan/kemalangan. ”Krama/sima” adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu banjar atau desa adat di Bali. Dalam hubungan pelaksanaan acara-acara suka duka inilah fungsi gamelan itu menjadi penting, artinya semakin besar upacara yang dilakukan semakin banyak jenis barungan gamelan yang disajikan untuk memeriahkan suasana jalannya upacara.
Misalnya upacara pengabenan (bakar mayat) tahun 1900-1950 di Bali masih sangat terasa adanya acara-acara yang dilaksanakan secara besar-besaran sehingga tidak sedikit biaya yang diperlukan. Gamelan-gamelan selama persiapan acara itu (biasanya sampai berhari-hari) ditabuh. Barungan gamelan yang ditabuh antara lainnya; gambang, angklung, gender wayang dan yang terakhir gong kebyar yang mendominasi acara tersebut.
Sejak ada acara pengabenan masal tahun 1967 sampai dengan 1970, jarang adanya acara pembakaran mayat besar-besaran lagi, menyebabkan pula semakin menipisnya fungsi gamelan yang bersifat sacral itu. Tetapi secara keseluruhan gamelan Bali tidak pernah mengalami kematian dalam arti yang sesungguhnya.

Hubungan dengan pelaksanaan Agama (Hindu)
Desa Adat di Bali memegang urusan penting mengenai Adat itu sendiri. Masing-masing desa Adat bertanggung jawab kepada tiga tempat suci persembahyangan bagi anggota  desanya, yaitu Pura Puseh, Pura Baleagung dan Pura Dalem, yang ketiganya disebut ”Kahyangan Tiga”. Tiap enam bulan atau satu tahun sekali di masing-masing Pura itu diadakan persembahyangan bagi anggoya desanya. Ini berarti dalam satu tahun terdapat banyak kegiatan sehubungan dengan Pura dan tempat suci. Disinilah fungsi gamelan penting karena sifat ke-sakral-annya.

Hubungan dengan arus tourisme
Bali adalah salah satu daerah pariwisata di Indonesia tentu akan mendapat pengaruh suasana dunia kepariwisataan itu sendiri, selama arus turis keluar masuk Bali. Pengaruh ini tentu ada yang positif da nada yang negative terhadap kehidupan kesenian pada umumnya terutama seni musik dan tari. Hali ini dilihat dari sudut kecil dunia pariwisata yang tentu mendahulukan faktor-faktir servis, praktis dan ekonomis. Dan ketiga faktor itu akan selalu berkait jalannya sehari-hari. Bila para turis menonton tari-tarian, maka gamelan-gamelan sebagai iringan tarian akan sangat baik perkembangannya.

Hubungan dengan seni lainnya
Hubungan yang paling dekat antara gamelan di Bali dengan kesenian lainnya ialah dengan seni tari dan seni suara. Tari Arja dan Janger membuktikan sekali dalam hal ini, pada suatu pementasan jenis tarian ini sekaligus berpadu dengan musik, tari dan vokal dan saling menambah keindahan satu sama lainnya.

Hubungan dengan generasi yang ada
Maksud istilah generasi yang ada lebih ditekankan pada kader-kader muda sebagai calon-calon pelanjut warisan generasi yang terdahulu. Pengaruh lingkungan antara pemuda di desa dengandi kota tentu berbeda, di desa masih sangat kuat perasaan untuk meneruskan seni musik ini sesuai dengan tradisinya, karena satu-satunnya hiburan di desa adalah memainkan gamelan dengan gratis pula. Di kota walaupun belum terlihat betul kemunduran minat para kader muda terhadap gamelan, mungkin itu merupakan sebuah tantangan dengan hiburan kota (bioskop, lagu-lagu pop, televisi) yang sangat besar pengaruhnya untuk merangsang pertumbuhan dan bakat seni yang ada pada mereka.

Alat Musik Reog Ponorogo Berdasarkan Sumber Bunyinya

oleh: Rasyadan Muhammad

Kelompok Pencon
Alat musik yang bahannya dari perunggu dan kuningan, berawal dari bentuk pipih bulat semacam cakram, kemudian ditempa (lewat pembakaran) dan dibentuk melebar dan melengkung sampai mencapai bentuk akhir. Sumber bunyinya berbentuk pencon yang rongganya berfungsi sebagai resonator.

  1. Kempul, alat musik pukul yang sumber bunyinya berbentuk pencon seperti alat musik Gong dan Kempul pada gamelan Jawa, ditabuh dengan tabuh khusus. Pada reog Ponorogo kempul berfungsi sebagai penegas ketukan atau beat dalam suatu alunan/ricikan permainan. Pada stand atau penyangga kempul diatasnya terdapat ukiran berbentuk naga yang secara filosofi memiliki arti sebagai sumber kehidupan.

  2. Kenong atau Kethuk, alat musik pukul yang juga sumber bunyinya berbentuk pencon seperti Kempul, hanya saja berukuran lebih kecil. Istilah Kenong pada karawitan Jawa adalah alat musik yang berbeda dengan istilah Kenong pada permainan musik reog, bentuk dan ukuran Kenong pada reog Ponorogo sama seperti alat musik Kethuk di karawitan Jawa. Sebaliknya Kenong pada karawitan Jawa memiliki bentuk dan ukuran yang  berbeda dengan Kenong pada Reog Ponorogo.
Kelompok Bambu
Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari bambu.

  1.    Angklung, alat musik ini mengeluarkan bunyi melalui benturan antara bambu dengan cuthik yang fungsinya sebagai resonator. Sistem nada atau laras yang digunakan adalah pelog tapi biasanya menggunakan laras sesuai kebutuhan. Yang membedakan angklung pada umumnya dengan angklung reog adalah hiasan dengan warna dominan reog seperti merah dan kuning.
Kelompok Selaput Kulit
Instrumen musik yang suaranya bersumber dari getaran kulit yang dibentang pada suatu bingkai atau frame (dari berbagai macam bentuk dan bahan, biasanya kayu).

  1. Kendang, terbuat dari kayu luang dan dijalin dengan kawat, dilapisi kulit lembu/kerbau muda. Ada perbedaan dalam cara memainkan alat musk kendang yaitu saat membunykan Dhe, di Ponorogo Jawa Timur menggunakan tangan kiri tapi di daerah Solo menggunakan tangan kanan. Perbedaan peran kendang juga dimiliki antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah, di Jawa Timur kendang berperan sebagai penentu gerakan tarian tapi di Jawa Tengah kendang berperan sebagai penentu berubahnya ricikan gendhing.

  2.  Ketipung, bentuk dan bahan pembuatannya sama seperti kendang hanya ukurannya lebih kecil. Ketipung dimainkan imbal-imbalan dengan kendang utama. Dipukul menggunakan pemukul yang terbuat dari kayu (stick).



Kelompok Lainnya

  1. Sompret, dibuat dengan kayu jati, pada bagian sekeliling mulutnya dibuat menyerupai kumis tebal menggunakan batok kelapa. Ditiup menggunakan kepyak yang terbuat dari pupusnya pohon koprak. Sompret reog berfungsi sebagai ajak-ajak dalam sajian musik reog sekaligus sebagai penghias dalam musik reog.

Fungsi Gendhing Beksan pada Tari Bedhaya

 oleh: Rasyadan Muhammad - 12112117

Beberapa macam Bedhaya seperti bedhaya Sukaharjo, bedhaya Pangkur, bedhaya Ela-ela, dan  lain sebagainya kebanyakan memiliki vokabuler gerak yang sama, busana yang sama dan susunan dasar yang sama (maju beksan dan mundur beksan). Sementara itu perbedaan yang ada di tari bedhaya terletak pada urutan susunan gerak, pola lantai dan terkadang properti yang digunakan. Maka dari itu kehadiran sajian tari bedhaya nyaris hampir selalu sama rasanya bila tidak ada kehadiran gendhing.
Nama tari bedhaya selalu diambil dari nama gendhingnya, seperti bedhaya Pangkur yang gendhingnya juga bernama gendhing Pangkur. Dilihat dari fakta tersebut kehadiran gendhing beksan pada tari bedhaya sangat berperan penting, tari bedhaya tidak bisa disajikan tanpa gendhing beksan tapi gendhing beksan dapat disajikan secara mandiri tanpa adanya tari bedhaya. Gendhing beksan pada tari bedhaya tidak berfungsi sebagai pengiring melainkan sebagai gendhing yang disajikan mandiri, seperti halnya musik Swan-Lakenya Tjaikofsky.
Intinya susunan vokabuler gerak tari bedhaya dan segala hal yang ada dalam tari bedhaya tidak akan menjadi indah tanpa kehadiran gendhing beksan yang membuat bedhaya semakin berkarakter dan bermakna.

Sumber: perkuliah Pengantar Etnomusikologi oleh Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar tanggal 18 Desember 2012

Asal Mula Angklung Berawal dari Budaya Agraris Masyarakat Sunda dan Jawa


oleh Rasyadan Muhammad (12112117)
Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Sunda) atau dalam budaya Jawa dikenal sebagai dewi Sri adalah dewi pertanian, dewi padi dan dewi sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya sudah berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam masuk di pulau Jawa (http://id.wikipedia.org/wiki/Sri).
Berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang mayoritas adalah masyarakat agraris dimana sumber kehidupan adalah berasal dari padi sebagai makanan pokoknya. Dari kenyataan tersebut berdasarkan perenungan masyarakat Sunda dahulu kala dalam mengolah pertanian terutama di sawah telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri, serta upaya untuk menolak bala agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya.
Selanjutnya syair-syair dan lagu-lagu persembahan untuk dewi Sri tersebut disertai iringan bunyi-bunyian yang ditabuh terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yanbg kemudian struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung dan calung.
Dewi sri adalah dewi percocok tanaman , terutama padi dan sawah di pulau jawa dan bali. Ia memiliki pengaruh di dunia bawah tanah dan terhadap bulan. Ia juga dapat mengontrol bahan makanan di bumi dan kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Sebagai tokoh yang sangat diagung-agungkan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan dewi sri (dewi asri, nyi pohaci) dan saudara laki-lakinya sedana (sadhana atau sadono), dengan latar belakang kerajaan medang kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti batara guru), atau kedua-duanya. Di beberapa versi, dewi sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan sadhana dengan burung sriti. Orang jawa tradisionalmemiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk dewi sri agar mendapatkan kemakmuran yang dihiasi dengan ukiran ular. Di masyarakat pertanian, ular yang masuk ke dalam rumah tidak diusir karena ia meramalkan panen yang berhasil, sehingga malah diberi sesajen. Di bali, mereka menyediakan kuil khusus untuk dewi sri di sawah. Orang sunda memiliki perayaan khusus dipersembahkan untuk dewi sri (http://subang--kuningan.blogspot.com/2012/05/asal-usul-angklung.html diunduh tanggal 17 Desember 2012 pukul 18.50).
Perkembangan selanjutnya dalam permainan alat musik angklung selain sebagai iringan lagu-lagu persembahan untuk dewi Sri, disertai juga didalamnya unsur gerak berupa tari yang ritmis dengan pola tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada acara-acara lainnya yang bersangkut paut dengan padi dan sawah seperti saat pesta panen dan sebagainya.
© アダン
Maira Gall